Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) diperkirakan akan mempertahankan kebijakan moneternya pada pertemuan pekan depan, seiring prospek pertumbuhan ekonomi yang masih tangguh meski terjadi perlambatan perdagangan akibat tarif impor Amerika Serikat.
Dari 14 ekonom yang disurvei oleh Reuters, sebanyak 10 analis memperkirakan MAS tidak akan melakukan perubahan dalam tinjauan kebijakan terjadwal pada 14 Oktober mendatang.
Baca Juga: Gempa Magnitudo 7,2 Guncang Mindanao, Filipina, Disertai Peringatan Tsunami
Ekonom Maybank, Chua Hak Bin, mengatakan bahwa lonjakan sektor konstruksi, dukungan fiskal yang besar, serta penurunan suku bunga telah membantu meredam dampak perlambatan perdagangan global.
“Beberapa sektor ekonomi tampak menguat pada kuartal ketiga, terlihat dari data penjualan ritel, perhotelan, transaksi properti, penyaluran kredit perbankan, volume perdagangan, dan aktivitas IPO. Semua itu membantu menahan kontraksi ekspor,” ujar Chua pada Jumat (10/10/2025).
Kepala Riset Asia ANZ, Khoon Goh, juga menilai ketidakpastian ekonomi Singapura mulai berkurang, meski risiko terkait kebijakan ekonomi AS masih membayangi.
“Dampak tarif terhadap ekonomi global memang belum sepenuhnya terasa. Namun, siklus kuat semikonduktor dunia yang ditopang oleh booming investasi kecerdasan buatan (AI) akan menjadi penopang bagi ekonomi Singapura,” katanya.
Baca Juga: Strategi Investasi 60/40 Sudah Usang, Robert Kiyosaki: Investor Cerdas Pilih Aset Ini
Ia menambahkan, pemerintah bahkan bisa menaikkan kembali proyeksi pertumbuhan PDB 2025 bila tren ini berlanjut.
Pemerintah Singapura terakhir kali menaikkan perkiraan pertumbuhan ekonomi 2025 menjadi 1,5%–2,5%, dari sebelumnya 0,0%–2,0%, setelah kinerja paruh pertama tahun ini melampaui ekspektasi.
MAS sendiri menahan kebijakan moneter pada Juli 2025 setelah pertumbuhan ekonomi kuartal II menunjukkan kejutan positif dan ketegangan dagang global sempat mereda.
Sebelumnya, bank sentral melonggarkan kebijakan dua kali pada Januari dan April karena kekhawatiran atas tarif AS, setelah terakhir melakukan pengetatan pada Oktober 2022.
Baca Juga: Harga Emas Menguat Jumat (10/10) Pagi, Menuju Kenaikan Mingguan Kedelapan Beruntun
Berbeda dengan bank sentral lain, MAS tidak menggunakan suku bunga sebagai instrumen utama, melainkan mengelola nilai tukar dolar Singapura (S$NEER) terhadap mata uang mitra dagang utama dalam koridor tertentu.
Penyesuaian dilakukan melalui tiga parameter: kemiringan (slope), titik tengah (mid-point), dan lebar pita (band width).
Dari sisi inflasi, tekanan harga terlihat mulai mereda, dengan indeks harga konsumen utama hanya naik 0,3% pada Agustus, atau terendah sejak Februari 2021.
Namun, hubungan dagang dengan AS tetap menjadi sorotan. Meskipun Singapura memiliki perjanjian perdagangan bebas sejak 2004, ekspornya ke AS masih dikenai tarif dasar 10%.
Baca Juga: Rupiah Dibuka Melemah ke Level Rp 16.587 per Dolar AS, Jumat (10/10)
Selain itu, tarif sektoral seperti 100% pada obat-obatan bermerek menjadi kekhawatiran tersendiri. Singapura mengekspor sekitar S$4 miliar (US$3,1 miliar) produk farmasi ke AS setiap tahun, sebagian besar berupa obat bermerek.
Pada Juli lalu, MAS melaporkan rata-rata tarif efektif AS terhadap ekspor Singapura naik menjadi 7,8%, dari 6,8% pada April.
Keputusan MAS bulan ini akan diambil di tengah gelombang pelonggaran kebijakan moneter global.
Bank Sentral Eropa (ECB) menahan suku bunga pada September setelah memangkas setengah dari tingkat acuannya menjadi 2% dalam setahun hingga Juni.
Sementara itu, The Federal Reserve AS menurunkan suku bunga 25 basis poin pada September, menyusul pelemahan pasar tenaga kerja.
Baca Juga: Survei: Guru di Singapura Paling Aktif Gunakan AI untuk Mengajar
Meski mayoritas ekonom memperkirakan kebijakan MAS tetap, Denise Cheok, ekonom Moody’s Analytics, justru memperkirakan kemungkinan pelonggaran.
Menurutnya, data ekspor non-migas dan produksi industri jatuh lebih dalam dari perkiraan pada Agustus, menandakan efek dari percepatan pengiriman barang (front-loading) akan segera mereda.
“Penurunan tekanan inflasi impor akibat harga minyak global yang rendah memberi ruang bagi MAS untuk melonggarkan kebijakan,” ujar Cheok.