Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Dalam pidatonya, Wang menghimbau untuk berbagi "nilai-nilai Asia" dan membangkitkan semangat konferensi tahun 1955 di Bandung, Indonesia, di mana negara-negara yang baru merdeka sepakat untuk mendorong kerja sama ekonomi dan budaya serta menolak kolonialisme.
“Kita harus meningkatkan keamanan regional melalui dialog dan kerja sama… untuk mengatasi dan mengelola risiko dan perbedaan secara tepat, bekerja sama untuk menjaga perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah di kawasan,” katanya.
Peta baru, masalah baru
Sebelumnya diberitakan, situasi di Laut China Selatan semakin tegang setelah China merilis peta baru.
Reuters memberitakan, pada hari Senin (28/8/2023), China merilis peta garis terkenal berbentuk U yang menutupi sekitar 90% Laut Cina Selatan, yang menjadi sumber banyak perselisihan di salah satu jalur perairan yang paling diperebutkan di dunia, tempat lewatnya perdagangan senilai lebih dari US$ 3 triliun setiap tahunnya.
Pada Kamis (31/8/2023), Filipina meminta China untuk bertindak secara bertanggung jawab dan mematuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional dan keputusan arbitrase tahun 2016 yang menyatakan bahwa garis tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Demikian pula Malaysia yang mengatakan telah mengajukan protes diplomatik atas peta tersebut. China mengatakan garis tersebut didasarkan pada peta bersejarahnya. Belum jelas apakah peta terbaru menunjukkan adanya klaim baru atas wilayah tersebut.
Baca Juga: Daftar Negara yang Tolak Mentah-Mentah Peta Laut China Selatan Terbaru
Garis berbentuk U di China berputar sejauh 1.500 km (932 mil) di selatan pulau Hainan dan memotong zona ekonomi eksklusif (ZEE) Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.
“Upaya terbaru untuk melegitimasi kedaulatan dan yurisdiksi Tiongkok atas wilayah dan zona maritim Filipina tidak memiliki dasar berdasarkan hukum internasional,” kata Kementerian Luar Negeri Filipina.