Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dihujani badai kritik usai melontarkan penyataan bahwa negara-negara Eropa tidak boleh menjadi pengikut dalam tatanan dunia. Dia menekankan agar Eropa menghindarkan diri terseret dalam konflik antara Amerika Serikat (AS) dan China atas Taiwan.
Pernyataan itu disampaikan dalam wawancara dengan Politico usai melakukan kunjungan kenegaraan ke China dan bertemu tatap muka dengan Presiden Xi Jinping.
Menurutnya, posisi Eropa harus menjadi kekuatan ketiga dalam tatatan dunia, bersama dengan AS dan China. Macron menegaskan kembali tujuan jangka panjangnya tentang
otonomi strategis untuk Eropa, yaitu menghindari ketergantungan militer dan ekonomi.
Dia menyebut pada umumnya negara-negara Eropa tidak memiliki ketertarikan pada krisis di Taiwan. "Hal yang buruk adalah berpikir bahwa kita, orang-orang Eropa, harus mengikuti masalah ini (Taiwan) dan menyesuaikan diri dengan kebijakan AS atau respons berlebihan dari China," kata Macron dikutip The Guardian, Senin (17/4).
Macron menambahkan, akan jadi jebakan bagi Eropa jika terseret dalam arus konflik antara China dan AS. Karena Eropa tidak akan punya waktu atau sarana untuk membiayai otonomi startegisnya sendiri dan bakal hanya jadi sekedar pengikut.
Sementara jika otonomi strategis terus dijalankan maka Eropa ia perkirakan bisa jadi kutub ketiga dalam beberapa tahun mendatang.
Ia juga menekankan ada resiko yang dihadapi Eropa dari kebijaka penangan inflasi AS yakni Inflation Reduction Act (IRA), rencana subsidi hijau senilai US$ 369 miliar, dan ketergantungan yang berlebihan pada dolar. Namun, Eropa telah bereaksi dengan cepat untuk menghasilkan IRA Eropa mengacu pada rencana untuk meningkatkan teknologi hijau lokal dan produksi bahan baku penting.
Sementara pertemuannya dengan Xi Jinping disebut Macron untuk mengkonsolidasikan pendekatan bersama atas perang di Ukraina.
Namun, istana kepresidenan Prancis yang memeriksa kutipan Macron sebelum dipublikasikan bersikeras untuk menghapus kalimat di mana Macron telah berbicara lebih terus terang tentang otonomi strategis Taiwan dan Eropa.
Dalam postingan di media sosial, Senator Partai Republik AS, Marco Rubio mengatakan jika pernyataan Macron mencakup seluruh Eropa maka AS harus mempertimbangkan untuk memfokuskan kebijakan luar negerinya untuk menahan China dan meninggalkan Eropa dalam menangani perang Ukraina.
Sementara salah satu anggota parlemen Eropa (MEP) menekankan bahwa penyataan Macron tidak bicara untuk seluruh uni Eropa. Menurutnya, penyataan itu hanya untuk Prancis karena Macron tidak bisa bicara mewakili Eropa.
Menurutnya, agak mengejutkan untuk menekankan otonomi strategis saat ini karena dunia sudah berubah dalam 14 bulan terakhir. Menurutnya, invansi Rusia ke Ukraina menimbulkan pertnayaan akan kemampuan Eropa untuk jadi kekuatan ketiga di dunia seperti usul Macron.
Sementara Norbert Rottgen, anggota Parlemen Tengah Kanan Jerman sekaligus mantan ketua komiten urusan luar negeri Bunderstag, mengatakan bahwa Makron telah mengubah perjalanannya ke China menjadi kudeta PR bagi Xi Jinping dan bencana kebijakan luar negeri bagi Eropa. “Idenya tentang kedaulatan, yang dia definisikan dalam demarkasi daripada kemitraan dengan AS, dia semakin mengucilkan dirinya di Eropa.” kata Rottgen.
Reinhard Butiköfer, seorang anggota MEP yang memimpin delegasi China di parlemen Eropa, menggambarkan kunjungan Macron ke China sebagai bencana total. MEP Hijau Jerman, yang telah diberi sanksi oleh Beijing atas sikapnya terhadap hak asasi manusia di Xinjiang, juga mengatakan impian Macron tentang otonomi strategis uni eropa dan menjadi negara adikuasa ketiga adalah di luar batas.
Dia menambahkan bahwa presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, telah menunjukkan alternatif yang lebih baik. Von der Leyen baru-baru ini mengatakan UE perlu menilai kembali hubungannya dengan pemerintah China yang telah meningkatkan kebijakan disinformasi dan pemaksaan ekonomi dan perdagangan.
Sedangkan bagi pendukung Macron, wawancara itu berisi sedikit hal yang baru baginya atau kebijakan luar negeri Prancis sejak Charles de Gaulle. Gérard Araud, mantan duta besar Prancis untuk Washington dan PBB, mengatakan Macron telah memulai debat penting pada saat ada godaan untuk berkonsolidasi menjadi blok barat di bawah arahan Amerika.
Pertikaian itu mengingatkan kembali kontroversi sebelumnya seperti ketika Macron menyatakan pada 2019 NATO mengalami kematian otak, atau ketika tahun lalu dia membuat marah sekutu Eropa tengah dan timur dengan mengatakan Rusia akan membutuhkan jaminan keamanan ketika saatnya tiba untuk merundingkan penyelesaian damai dengan Ukraina.