Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - Istanbul. Mulai 1 Oktober 2020, Turki disebut bakal mengalami periode baru dan gelap. Pasalnya, warga Turki tidak boleh lagi sembarangan posting status di media sosial. Perusahaan media sosial juga tidak boleh sembarangan beroperasi di Turki.
Hal ini menyusul parlemen Turki yang menyetujui UU baru tentang media sosial pada Rabu (29/7/2020). UU baru memberikan kekuasaan lebih kepada pihak otoritas terhadap penyensoran konten.
Baca juga: Dua kantor konsulat China di AS ini diduga dipakai untuk spionase, bukan di Houston
UU mengharuskan perusahaan media sosial, seperti Facebook dan Twitter untuk mendirikan kantor perwakilan di Turki yang berfungsi untuk menangani berbagai keluhan terhadap konten di platform tersebut.
Jika perusahaan media sosial menolak untuk menunjuk perwakilan resmi, UU tersebut mengamanatkan denda yang tinggi, larangan iklan, dan pengurangan kapasitas layanan data (bandwidth).
Dengan putusan pengadilan, bandwidth akan dibagi dua, dan kemudian dipotong lebih lanjut. Pengurangan bandwidth berarti jaringan media sosial akan terlalu lambat untuk digunakan.
Perwakilan platform media sosial akan ditugaskan menanggapi permintaan individu untuk menghapus konten yang melanggar privasi dan hak pribadi dalam waktu 48 jam atau untuk memberikan alasan penolakan.
Perusahaan akan bertanggung jawab atas kerusakan, jika konten tidak dihapus atau diblokir dalam waktu 24 jam. Yang paling mengkhawatirkan, di pasal 9 UU tersebut mengharuskan penyedia media sosial untuk menyimpan data pengguna di Turki.
Melansir Associated Press pada Rabu (29/7/2020), pemerintah mengatakan UU tersebut diperlukan untuk memerangi kejahatan siber dan melindungi pengguna media sosial. Anggota parlemen partai berkuasa, Rumeysa Kadak mengatakan pada Rabu ini, bahwa UU tersebut digunakan untuk memiliki wewenang menghapus konten unggahan yang mengandung perundungan siber dan penghinaan terhadap perempuan.
Baca juga: Tak perlu repot, 11 bandara ini sudah menyediakan layanan rapid test corona
Sementara, anggota parlemen opisisi mengatakan UU tersebut akan lebih membatasi kebebasan berekspresi di mana media sudah di bawah kendali pemerintah yang ketat dan puluhan wartawan berada di penjara. Para oposisi menyebut UU itu sebagai "hukum sensor."