Sumber: DW.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Pendekatan teknologi tinggi ini merupakan inisiasi dari CEO Museum Perang Dingin Carsten Kollmeier dan CFO Harald Braun. Penggunaan teknologi canggih dirancang untuk menarik pengunjung yang lebih muda, terutama yang tidak memiliki ingatan atau mengalami Perang Dingin.
"Harapan saya adalah kami dapat menjangkau lebih dari sekadar pengunjung museum biasa yang lebih tua dan benar-benar memiliki daya tarik lintas generasi," kata Kollmeier.
Dia menambahkan, "Cucu laki-laki, yang lahir setelah Perang Dingin, bisa datang bersama kakeknya, yang mengalaminya langsung."
Terlepas dari semua teknologi yang mencolok, masih banyak yang menarik bagi para ahli sejarah dan kepala museum kuno.
Bernd Stöver, profesor sejarah internasional di Universitas Potsdam dan penulis beberapa buku tentang Perang Dingin, mengepalai komite penasehat yang menyertai desain tersebut, memastikan semua yang ada di pameran tersebut diinformasikan oleh penelitian sejarah terbaru.
Baca Juga: Rusia dan Ukraina Bertempur, Bisnis Senjata Eropa Timur Tumbuh Subur
Dari misil hingga pakaian antariksa
Di antara artefak yang dipamerkan adalah roket S75 era Soviet. Ini merupakan misil berbahaya yang tergantung di pintu masuk.
Roket S75 adalah jenis roket yang digunakan untuk menembak jatuh pilot Amerika dan mata-mata CIA Garry Powers di Uni Soviet pada tahun 1960, sebuah peristiwa yang memicu insiden internasional (dan digambarkan dalam film pemenang Oscar karya Steven Spielberg "Bridge of Spies").
Ada pula ditampilkan salah satu mesin Telex yang menyediakan hubungan langsung antara Moskow dan Washington selama Krisis Rudal Kuba dan pakaian antariksa era Perang Dingin dari astronot NASA dan kosmonot Soviet.