Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Hill dan CFO Nike Matthew Friend juga enggan memberikan jadwal pemulihan China ketika ditanya analis. Friend menyebut lingkungan bisnis yang “dinamis” dan proses pemulihan yang “rumit”.
“Kami tetap percaya pertumbuhan akan datang dari olahraga,” kata Hill, “tetapi kenyataannya kami telah menjadi merek gaya hidup yang bersaing lewat harga di China.”
Friend menambahkan, Nike lebih sedikit melakukan promosi dibandingkan tahun lalu saat ajang belanja Singles Day pada 11 November. Perusahaan juga mengurangi agenda penjualan musim semi dan memangkas pembelian untuk musim panas guna meningkatkan penjualan dengan harga penuh.
Analis Zacks Investment Research, David Bartosiak, menilai Nike tampaknya bertaruh bahwa “daya tarik merek dan hubungan dengan mitra” pada akhirnya akan mampu mengatasi tekanan margin, meski profitabilitas akan tertekan dalam jangka pendek.
Analis Morningstar David Swartz menambahkan, kinerja Nike di China sebagian memang disengaja karena perusahaan sedang membersihkan stok produk yang usang dan lambat terjual.
Menurut Swartz, Nike masih layak mendapat kepercayaan, setidaknya untuk beberapa kuartal ke depan.
“Nike pernah berada dalam situasi serupa di Amerika Utara,” kata Swartz, merujuk saat Hill mengambil alih kepemimpinan pada Oktober 2024, “dan hasilnya kini mulai membaik.”
Tonton: Goldman Sachs Prediksi Harga Emas Tembus 4.900 dollar AS pada 2026
Kesimpulan
Masalah Nike di China mencerminkan pergeseran struktural yang serius, bukan sekadar pelemahan sementara. Persaingan sengit dari merek lokal, perubahan selera konsumen, lemahnya kanal digital, serta tekanan margin akibat tarif dan persediaan usang menjadikan China dari mesin pertumbuhan berubah menjadi sumber risiko utama. Strategi pemulihan Nike masih membutuhkan waktu, dengan konsekuensi penurunan profitabilitas yang kemungkinan berlanjut dalam jangka pendek.













