kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.561.000   59.000   2,36%
  • USD/IDR 16.814   20,00   0,12%
  • IDX 8.594   -52,11   -0,60%
  • KOMPAS100 1.189   -8,55   -0,71%
  • LQ45 851   -8,51   -0,99%
  • ISSI 307   -1,22   -0,39%
  • IDX30 437   -2,96   -0,67%
  • IDXHIDIV20 510   -3,42   -0,67%
  • IDX80 133   -1,26   -0,94%
  • IDXV30 138   -0,52   -0,38%
  • IDXQ30 140   -1,04   -0,74%

Nike Kehilangan Taji di Pasar China, Apa Penyebab Utamanya?


Selasa, 23 Desember 2025 / 08:44 WIB
Nike Kehilangan Taji di Pasar China, Apa Penyebab Utamanya?
ILUSTRASI. Nike kehabisan waktu untuk membuktikan bahwa strategi bisnisnya di China masih efektif untuk mendongkrak penjualan. Photo by Terrance Barksdale/Pexels


Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Nike kehabisan waktu untuk membuktikan bahwa strategi bisnisnya di China masih efektif. Penurunan penjualan selama enam kuartal berturut-turut di negara tersebut menegaskan bagaimana pasar yang dulu dipandang sebagai mesin pertumbuhan kini justru menjadi titik tekanan terbesar bagi raksasa pakaian olahraga asal Amerika Serikat itu.

Melansir Reuters, penjualan alas kaki Nike pada kuartal kedua anjlok 21% di China, pasar yang menyumbang sekitar 15% dari total pendapatan tahunan Nike.

“Sudah jelas kami perlu mengatur ulang pendekatan kami di pasar China,” ujar CEO Nike Elliott Hill dalam konferensi pasca-laporan kinerja pekan lalu.

Masalah Nike di China sebenarnya sudah berlangsung lama, dan investor sejak awal tidak berharap akan ada pemulihan cepat.

Namun, dorongan agresif Hill untuk menyegarkan lini produk dan memangkas produk gaya hidup lama belum menunjukkan kemajuan berarti, bahkan sekadar perbaikan bertahap seperti yang diharapkan investor.

Sebaliknya, tekanan terhadap margin semakin berat. Margin kotor kuartal kedua turun sekitar 300 basis poin, terdampak biaya tarif serta menumpuknya persediaan produk usang.

Saham Nike ditutup turun 11% ke level US$ 58,71 pada Jumat lalu, posisi terendah dalam tujuh bulan terakhir. Sepanjang tahun ini, saham Nike telah merosot 22% dan berada di jalur penurunan untuk tahun keempat berturut-turut.

Baca Juga: Trump Tegaskan AS Butuh Greenland untuk Keamanan Nasional, Tunjuk Utusan Khusus

Tantangan struktural di pasar China juga sangat jelas, di tengah persaingan yang semakin ketat dan kelelahan konsumen yang mendorong penurunan harga.

Hill mengakui Nike belum cukup berinvestasi untuk menyegarkan gerai-gerainya di China guna meningkatkan kunjungan pelanggan. Selain itu, lanskap ritel monobrand di China, di mana merek umumnya mengoperasikan toko sendiri, bukan melalui peritel pihak ketiga, membatasi kemampuan Nike untuk meniru dominasi multikanal yang dimilikinya di Amerika Serikat.

Sementara itu, segmen digital yang diharapkan menjadi motor pertumbuhan justru melemah. Penjualan online turun 36% seiring meningkatnya persaingan dari merek lokal seperti Anta dan Li-Ning.

“Mungkin ini faktor ekonomi, tapi besar kemungkinan sentimen negatif terhadap merek Barat masih berlanjut,” kata Kim Forrest, chief investment officer Bokeh Capital Partners.

“Produk Nike dengan logo swoosh secara terang-terangan menunjukkan apa yang Anda kenakan, sementara produk kelas atas tampaknya mulai tidak diminati. Ditambah kesalahan desain perusahaan, inilah yang menjelaskan hasil kuartal ini,” ujarnya.

Baca Juga: Harga Emas Cetak Rekor Tertinggi Selasa (23/12), Memanasnya Ketegangan AS–Venezuela

Hill dan CFO Nike Matthew Friend juga enggan memberikan jadwal pemulihan China ketika ditanya analis. Friend menyebut lingkungan bisnis yang “dinamis” dan proses pemulihan yang “rumit”.

“Kami tetap percaya pertumbuhan akan datang dari olahraga,” kata Hill, “tetapi kenyataannya kami telah menjadi merek gaya hidup yang bersaing lewat harga di China.”

Friend menambahkan, Nike lebih sedikit melakukan promosi dibandingkan tahun lalu saat ajang belanja Singles Day pada 11 November. Perusahaan juga mengurangi agenda penjualan musim semi dan memangkas pembelian untuk musim panas guna meningkatkan penjualan dengan harga penuh.

Analis Zacks Investment Research, David Bartosiak, menilai Nike tampaknya bertaruh bahwa “daya tarik merek dan hubungan dengan mitra” pada akhirnya akan mampu mengatasi tekanan margin, meski profitabilitas akan tertekan dalam jangka pendek.

Analis Morningstar David Swartz menambahkan, kinerja Nike di China sebagian memang disengaja karena perusahaan sedang membersihkan stok produk yang usang dan lambat terjual.

Menurut Swartz, Nike masih layak mendapat kepercayaan, setidaknya untuk beberapa kuartal ke depan.

“Nike pernah berada dalam situasi serupa di Amerika Utara,” kata Swartz, merujuk saat Hill mengambil alih kepemimpinan pada Oktober 2024, “dan hasilnya kini mulai membaik.”

Tonton: Goldman Sachs Prediksi Harga Emas Tembus 4.900 dollar AS pada 2026

Kesimpulan

Masalah Nike di China mencerminkan pergeseran struktural yang serius, bukan sekadar pelemahan sementara. Persaingan sengit dari merek lokal, perubahan selera konsumen, lemahnya kanal digital, serta tekanan margin akibat tarif dan persediaan usang menjadikan China dari mesin pertumbuhan berubah menjadi sumber risiko utama. Strategi pemulihan Nike masih membutuhkan waktu, dengan konsekuensi penurunan profitabilitas yang kemungkinan berlanjut dalam jangka pendek.

Selanjutnya: Triputra Agro Persada (TAPG) Kantongi Kredit Rp 300 Miliar di CIMB Niaga

Menarik Dibaca: 6 Ide Kado Natal Untuk Penggemar Buku, Kutu Buku Dijamin Suka




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×