Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Paus Fransiskus, yang wafat pada usia 88 tahun pada Senin Paskah (21 April 2025), meninggalkan warisan yang begitu dalam bukan hanya karena posisinya sebagai Kepala Gereja Katolik, melainkan karena sikap hidupnya yang luar biasa sederhana dan progresif.
Ia menghabiskan 12 tahun terakhir hidupnya di Domus Sanctae Marthae, bukan di Istana Apostolik yang megah, pilihan yang memperkuat citranya sebagai pemimpin spiritual yang rendah hati dan dekat dengan umat.
Tempat Istirahat Seorang Pelayan Kristus
Mengutip Unilad, sebuah kamar sederhana dengan tempat tidur kayu tunggal, dinding polos dihiasi satu atau dua salib, dan perabotan minim — inilah ruangan tempat Paus Fransiskus beristirahat setiap malam.
Baca Juga: Paus Baru akan Terpilih di Kapel Sistina, Saksi Keindahan Karya Michelangelo
Tidak ada tirai mewah, tidak ada chandelier emas, dan tidak ada simbol-simbol kemegahan. Ruang tidurnya mencerminkan kehidupannya: bersahaja, spiritual, dan bebas dari kepura-puraan.
"Inilah rupa kamar pemimpin yang benar-benar melayani," komentar seorang netizen di media sosial. "Tanpa kemewahan, tanpa simbol prestise, hanya martabat dan kerendahan hati."
Menolak Kemewahan, Menegaskan Janji Kaum Jesuit
Sebagai Paus pertama dari Ordo Jesuit, Jorge Mario Bergoglio hidup sesuai kaulnya: kemiskinan, kesucian, dan ketaatan. Ia bahkan menolak gaji kepausan sebesar US$32.000 per bulan, yang jika dikumpulkan selama masa jabatannya bisa mencapai jutaan dolar. Seluruh kehidupannya adalah bentuk nyata dari konsistensi iman yang dijalani.
Paus Fransiskus dikenal sebagai agen perubahan. Ia menunjuk lebih banyak kardinal dari luar Eropa dibanding para pendahulunya, membuka akses perempuan ke posisi tinggi di Vatikan, dan mendukung keberagaman dengan menerima komunitas LGBTQ+ melalui kebijakan bersejarah yang memperbolehkan pemberkatan serikat sipil sesama jenis.
Ia juga vokal terhadap isu-isu global: mengkritik perang, menyuarakan keprihatinan tentang perubahan iklim, dan menentang hukum-hukum diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Pernyataannya yang terkenal — "Siapa saya untuk menghakimi?" — mencerminkan sikap empati dan keterbukaan terhadap sesama.
Baca Juga: Jadi Sorotan, Segini Jumlah Kekayaan Paus Fransiskus Saat Wafat
Memilih Hidup Bersama, Bukan Terasing
Salah satu alasan ia memilih tinggal di Domus Sanctae Marthae adalah karena akses yang lebih luas terhadap umat. "Saya tidak bisa hidup tanpa orang lain," katanya. “Saya perlu hidup bersama komunitas.” Di sana, ia menikmati makan bersama di ruang makan umum, dan berbaur dengan tamu dan pegawai Gereja seperti seorang teman, bukan sebagai raja.
Dalam semangatnya yang menolak formalitas berlebihan, Paus Fransiskus juga memilih untuk dimakamkan di luar Vatikan — sebuah langkah yang mengejutkan banyak kalangan namun sejalan dengan prinsip hidupnya.
Upacara pemakamannya pada Sabtu (26 April) berlangsung khidmat dan menyatukan umat dari berbagai penjuru dunia yang mengenangnya sebagai Paus yang hidup seperti ia berkhotbah.