Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
Tetapi untuk menjaga keluaran karbon mereka memerlukan kedisiplinan. “Ketika kami tiba di Brisbane, kapal kargonya berlabuh tepat di samping bandara,” ujar Lorenz. “Kami melihat banyak pesawat terbang mendarat setiap menit – bak pukulan telak ke wajah kami, dalam hati kami berkata, ‘kalian bisa melakukan semua ini kurang dari 24 jam'."
Sekarang, pasangan ini sedang bersiap untuk kembali mengulang perjalanan mereka. Perjalanan pulang mereka akan segera dimulai dengan menumpang kapal kargo dari Brisbane menuju Jepang, sebelum mereka menempuh rute yang berbeda melalui Cina dan Rusia.
Baca Juga: Foto jadi promosi gratis
Lorenz dan Giulia adalah dua dari 360 orang yang berkomitmen untuk berhenti atau membatasi penggunaan pesawat terbang selama dua tahun terakhir dengan mengkampanyekan gerakan No Fly Climate Sci. Dan masih banyak lainnya yang membuat keputusan serupa.
Sejak Greta Thunberg melakukan 32 jam perjalanan menggunakan kereta menuju Davos tahun lalu, perusahaan kereta api nasional Swedia telah menambah jadwal keberangkatan kereta mereka menjadi tiga kali sehari di trayek Stockholm-Copenhagen-Hamburg, dan perusahaan kereta Jerman, Deutsche Bahn (DB), untuk pertama kalinya menargetkan tahun ini sebanyak 150 juta penumpang menggunakan kereta lintas kota dan negara.
Keistimewaan dari pilihan sulit
Namun, Giulia dan Lorenz sadar betul perubahan ini tidak terjadi secara cukup cepat, dan ingin menyampaikan bahwa krisis iklim kini menuntut banyak pihak untuk berpikir ulang dalam menjalankan roda perekonomian.
Baca Juga: Ini faktor penyebab kualitas udara di Jakarta buruk menurut BMKG
“Walaupun tindakan individu itu penting, itu tidak akan cukup. Kita perlu perubahan secara sistemik,” papar Lorenz.
Mereka juga meyakini bahwa cara mereka berpergian merupakan suatau keistimewaan.
Hanya segelintir orang yang bergelimang kemewahan yang memilih mencemari bumi dengan emisi gas buang pesawat - kurang dari 20% populasi global pernah naik pesawat – perjalanan Giulia dan Lorenz membuat mereka sadar betapa beruntungnya mereka, terlepas dari isu ras, kewarganegaraan, disabilitas, orientasi seksual, dan strata, mereka mampu berpergian secara bebas dan aman melintasi dunia, menembus batas negara satu demi satu.
Baca Juga: Soal gugatan polusi udara, KLHK: Kami pelajari dulu
Perjalan mereka mungkin dinilai bukan hal yang baru, tapi pasangan ini mengatakan percakapan yang mereka lakukan dengan sesama pelancong di sepanjang perjalanan, menunjukkan kepada mereka yang berhasil menjelajah dunia jadi semakin sadar akan dampak yang mereka alami. “Kami memang minoritas, sudah jelas, tapi banyak orang berpikir tentang cara kami berpergian,” pungkas Giulia.