Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
Polusi Udara - Peneltiian terbaru yang dirilis oleh Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago (EPIC) menunjukkan bahwa polusi udara adalah ancaman kesehatan global paling mematikan. Dampak polusi udara bahkan disebut lebih berbahaya dibandingkan rokok atau alkohol.
Laporan yang dirilis EPIC hari Selasa (29/8) juga menunjukkan bahwa ancaman semakin memburuk di episentrum globalnya di Asia Selatan. Namun, jumlah dana yang disisihkan untuk menghadapi tantangan ini masih lebih kecil dari dana untuk memerangi penyakit menular.
Baca Juga: Polusi Udara Mengancam, Kemenkes Siapkan Upaya Penanganan Kesehatan
Memperpendek Usia
Mengacu pada laporan tahunan Air Quality Life Index (AQLI), EPIC menunjukkan bahwa polusi udara partikulat halus masih menjadi ancaman eksternal terbesar terhadap kesehatan masyarakat.
Partikel tersebut umumnya berasal dari emisi kendaraan, industri, kebakaran hutan, dan lainnya. Partikulat halus dikaitkan dengan penyakit paru-paru, penyakit jantung, stroke, dan kanker.
Jika polusi udara bisa dihilangkan secara permanen sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), maka rata-rata harapan hidup orang di dunia akan meningkat hingga 2,3 tahun.
Angka tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan dampak yang muncul akibat tembakau dan kasus malnutrisi. Penggunaan tembakau mengurangi angka harapan hidup secara global sebesar 2,2 tahun, sedangkan malnutrisi pada anak dan ibu bertanggung jawab atas penurunan angka harapan hidup sebesar 1,6 tahun.
Baca Juga: Sebanyak 11 Perusahaan Kena Sanksi Administrasi Terkait Polusi Udara
Kawasan Asia dan Afrika merasakan dampak polusi udara yang paling berat di dunia. Di saat yang sama, negara-negara di kawasan tersebut justru infrastruktur yang paling lemah.
Bantuan dana yang diterima untuk mengatasi dampak polusi udara di kawasan tersebut juga terbilang lemah.
Mengutip CNA, benua Afrika menerima kurang dari US$300.000 untuk mengatasi polusi udara. Sementara dana yang tersedia untuk HIV/AIDS, malaria, dan tuberkulosis mencapai US$4 miliar per tahun.
"Inilah kesenjangan yang sangat besar dengan kondisi di mana polusi udara merupakan kondisi terburuk. Polusi memperpendek umur rata-rata orang di DRC (Republik Demokratik Kongo) dan Kamerun dibandingkan dengan HIV/AIDS, malaria, dan ancaman kesehatan lainnya," ungkap Christa Hasenkopf, direktur program kualitas udara di EPIC.
Baca Juga: Cegah Dampak Polusi Udara, Kemenkes Ajak Masyarakat Terapkan 6M dan 1S
Asia Selatan Sebagai Episentrum Global
Polusi udara terburuk di dunia berada di Asia Selatan. Bangladesh, India, Nepal, dan Pakistan adalah empat negara dengan udara paling tercemar dalam hal rata-rata partikel halus, yang didefinisikan sebagai partikel dengan diameter 2,5 mikron atau kurang (PM2.5).
Ibu kota India, New Delhi, adalah kota besar paling tercemar di dunia dengan rata-rata polusi partikulat tahunan sebesar 126,5 mikrogram per meter kubik. Sementara Bangladesh tingkat PM2.5 rata-ratanya adalah 74 mikrogram per meter kubik.
Negara besar Asia lainnya, China, dinilai EPIC telah berhasil menjalankan perang melawan polusi udara yang dimulai pada tahun 2014.
Laporan EPIC mencatat polusi udara di China turun 42,3% antara tahun 2013 dan 2021. Jika perbaikan ini terus dilakukan, rata-rata warga China akan dapat hidup 2,2 tahun lebih lama.
Meningkatnya ancaman kebakaran hutan telah meningkatkan bahaya polusi udara di Amerika Serikat bagian barat hingga Amerika Latin dan Asia Tenggara.