Sumber: Bloomberg | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Ekspor China meleset dari perkiraaan para ekonom. Dari awalnya diproyeksikan bisa tumbuh 6%, realisasinya kini hanya mampu tumbuh 5% secara tahunan menjadi US$ 316 miliar pada bulan Mei.
Penurnan ini salah satunya terjadi karena penurunan permintaan AS. Menurut perhitungan Bloomberg News, ekspor China ke AS telah turun hingga 34,4%. Ini menjadi penurunan terbesar sejak Februari 2020, ketika gelombang pertama pandemi melumpuhkan ekonomi China.
Meskipun ada kesepakatan yang dicapai pada 12 Mei yang memberikan keringanan sementara untuk impor dari China yang akan menghadapi bea masuk hingga 145%.
Baca Juga: China dan Uni Eropa Capai Kemajuan dalam Perdagangan, Ekspor Rare Earth Jadi Fokus
Penurunan tajam tersebut mengimbangi kenaikan ekspor sebesar 11% ke negara lain, yang menunjukkan besarnya ekonomi terbesar di dunia. Ekspor ke Vietnam misalnya, telah melonjak 22% 22% atau naik di atas US$17 miliar untuk bulan ketiga berturut-turut karena perusahaan-perusahaan Tiongkok terus mengirim barang melalui negara ketiga untuk mencoba menghindari tarif AS.
Namun, arus itu mendorong defisit perdagangan AS dengan Vietnam dan negara-negara lain, yang semakin mempersulit negosiasi dengan AS tentang tarif mereka sendiri.
Data menunjukkan pemulihan dalam pengiriman unsur tanah jarang, yang telah menjadi salah satu poin utama pertikaian AS-Tiongkok.
Baca Juga: Ekspor Korea Selatan Melorot pada Mei, Imbas Pengiriman ke AS dan China yang Menyusut
Awal tahun ini, Tiongkok memberlakukan persyaratan lisensi ekspor pada beberapa elemen dan produk seperti magnet, yang secara drastis memperlambat pengiriman dan memaksa produsen di seluruh dunia untuk menghentikan beberapa jalur produksi. Cengkeraman Beijing terhadap ekspor ini akan menjadi agenda utama saat para negosiator perdagangan bertemu di London untuk melakukan pembicaraan pada hari Senin nanti.
Menurut data resmi pemerintah China, perlambatan ekspor juga diikuti dengan penurunan impor. Impor Negeri Tirai Bambu tercatat turun 3,4% selama tiga bulan berturut-turut, sehingga menghasilkan surplus perdagangan sebesar US$103 miliar.
Lemahnya ekonomi Tiongkok ditegaskan sebelumnya dengan rilis data inflasi yang menunjukkan negara tersebut terus mengalami deflasi pada bulan Mei. Harga pabrik turun selama 32 bulan berturut-turut, sementara harga konsumen juga menurun dari tahun lalu.
Melihat situasi ini, Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management menyebut propek peradagangan China masih sangat tidak pasti.