Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - NEW DELHI/ISLAMABAD. Setelah pertempuran sengit selama empat hari di awal Mei 2025, India dan Pakistan kini terlibat dalam perlombaan senjata drone berskala besar, menandai babak baru dalam ketegangan militer antara dua kekuatan nuklir Asia Selatan.
Pertempuran ini adalah kali pertama kedua negara menggunakan kendaraan udara tak berawak (UAV) secara masif dalam konflik langsung.
Serangan Drone Pertama dalam Skala Besar
Pukul 20.00 malam pada 8 Mei, langit malam di kota Jammu, India bagian utara, dipenuhi kilatan merah dari sistem pertahanan udara yang menembakkan peluru ke arah drone asal Pakistan. Insiden ini terjadi setelah serangan militan di wilayah Kashmir yang disengketakan pada 22 April, yang menewaskan 26 orang, mayoritas wisatawan India.
Sebagai balasan, India meluncurkan serangan udara pada 7 Mei terhadap infrastruktur yang diklaim sebagai milik kelompok teroris di Pakistan. Keesokan malamnya, Pakistan membalas dengan mengerahkan sekitar 300 hingga 400 drone ke 36 titik di sepanjang garis depan sepanjang 1.700 kilometer yang memisahkan kedua negara.
Baca Juga: India Kembali Gelar Sensus Kasta Setelah Hampir Seabad
Perlombaan Teknologi dan Produksi UAV
Pasca-bentrokan, India dan Pakistan mempercepat pengembangan dan akuisisi drone militer. India diperkirakan akan menggelontorkan dana hingga US$470 juta dalam 12 hingga 24 bulan ke depan untuk program UAV—hampir tiga kali lipat dari anggaran sebelum konflik, menurut Smit Shah dari Drone Federation of India.
India telah mengalokasikan dana darurat sebesar US$4,6 miliar untuk pengadaan pertahanan, sebagian besar akan digunakan untuk pengembangan drone tempur dan pengintai. Perusahaan lokal seperti ideaForge dan NewSpace tengah menggenjot riset dan produksi, termasuk dalam pengembangan drone loitering (suicide drones) seperti HAROP dari Israel.
Sementara itu, Pakistan menggandeng China dan Turki untuk memperkuat industri drone dalam negeri. Melalui kolaborasi antara National Aerospace Science and Technology Park dan Baykar dari Turki, Islamabad kini mampu merakit drone YIHA-III secara lokal hanya dalam 2–3 hari per unit.
Efektivitas dan Kelemahan di Medan Perang
Pertempuran pada Mei menunjukkan efektivitas dan keterbatasan teknologi UAV. India menggunakan berbagai jenis drone termasuk HAROP, WARMATE dari Polandia, dan drone buatan dalam negeri untuk menghancurkan target strategis di wilayah Pakistan.
Pakistan, di sisi lain, menggunakan drone YIHA-III, Asisguard Songar, dan Shahpar-II untuk menyerang instalasi pertahanan India.
Menariknya, banyak drone Pakistan berhasil ditumbangkan oleh sistem senjata era Perang Dingin milik India yang telah dimodernisasi dengan radar dan jaringan komunikasi canggih dari Bharat Electronics.
“Sepuluh kali lebih efektif dari yang saya perkirakan,” kata Brigadir (Purn.) Anshuman Narang, ahli UAV di Centre for Joint Warfare Studies.
Namun, Pakistan juga menunjukkan kecerdikan dengan memasang radar palsu dan menunggu hingga drone India berada pada ketinggian rendah agar lebih mudah dijatuhkan.
Baca Juga: Meski Ditentang Trump, IPhone 'Made in India' Siap Meluncur ke Pasar AS Juni 2025
Ancaman Eskalasi dan Tantangan Rantai Pasok
Menurut Walter Ladwig III dari King’s College London, penggunaan drone memungkinkan kedua negara menekan lawan tanpa memicu eskalasi penuh, sekaligus menunjukkan ketegasan kepada publik domestik.
Meski drone dinilai lebih murah dan minim risiko dibanding jet tempur atau rudal, keduanya tetap menyimpan risiko besar, terutama jika digunakan di wilayah padat penduduk atau zona sengketa yang sensitif.
India menghadapi tantangan kritis terkait ketergantungan pada komponen asal Tiongkok, seperti magnet dan lithium untuk baterai UAV. Dengan China sebagai sekutu utama Pakistan, ada kekhawatiran bahwa Beijing dapat menggunakan kendali rantai pasok sebagai senjata geopolitik. “Diversifikasi rantai pasok adalah masalah jangka menengah hingga panjang,” ujar Shah.