Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, berhasil menghindari apa yang ia sebut sebagai "momen Zelenskiy" setelah bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Gedung Putih pada Senin (25/8).
Pertemuan tingkat tinggi ini awalnya dikhawatirkan akan berujung pada konfrontasi, namun justru berakhir relatif mulus dan penuh sanjungan.
Kekhawatiran "Momen Zelenskiy"
Kekhawatiran terbesar Korea Selatan adalah kemungkinan terulangnya insiden pada Februari lalu, ketika Trump secara terbuka menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy dalam pertemuan Oval Office terkait bantuan militer dan perang melawan Rusia.
Namun, situasi berbeda terjadi kali ini. Lee Jae Myung menuturkan bahwa dirinya sudah mengantisipasi gaya negosiasi Trump, bahkan bercanda bahwa ia siap menghadapi situasi sulit setelah membaca buku Trump, The Art of the Deal.
"Staf saya sempat khawatir bahwa kami akan menghadapi 'momen Zelenskiy'. Tetapi saya sudah tahu hal itu tidak akan terjadi," ujar Lee di sebuah acara di Center for Strategic and International Studies (CSIS) setelah pertemuan.
Baca Juga: Presiden Korsel Gaungkan 'Make America Shipbuilding Great Again' pada Kunjungan ke AS
Awal yang Penuh Ketegangan
Beberapa jam sebelum pertemuan, Trump menulis di media sosial Truth Social: “WHAT IS GOING ON IN SOUTH KOREA? Seems like a Purge or Revolution.” (Apa yang sedang terjadi di Korea Selatan? Sepertinya ada pembersihan atau revolusi).
Pernyataan tersebut merujuk pada krisis politik di Seoul yang melibatkan penggeledahan oleh penyidik di sebuah pangkalan militer gabungan AS-Korsel. Namun, dalam diskusi tertutup, Lee berhasil menjelaskan situasi tersebut sehingga Trump melunakkan nada bicaranya dan menyebut postingannya hanya sebagai “kesalahpahaman” dan “rumor”.
Fokus pada Hubungan dengan Korea Utara
Di ruang Oval Office, suasana yang tercipta justru bersahabat. Trump menegaskan kembali hubungan baiknya dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dan menyatakan dukungannya terhadap pendekatan Lee terhadap isu Semenanjung Korea.
“Pertemuan berakhir tanpa drama,” kata Cheong Seong-chang, Wakil Presiden Sejong Institute di Seoul.
Namun, sejumlah analis menilai bahwa justru karena menjaga pertemuan tetap cair, beberapa kepentingan strategis Korea Selatan tidak tersampaikan, termasuk permintaan izin pengolahan ulang bahan bakar nuklir dan revisi regulasi AS di bidang industri perkapalan.
Baca Juga: Korean Air Pesan 103 Pesawat Boeing di Tengah Pertemuan Puncak AS dan Korea Selatan
Isu Biaya Pertahanan Masih Menggantung
Meski pertemuan berjalan lancar, pertanyaan besar masih tersisa mengenai berapa banyak yang akan dibayar Korea Selatan untuk menanggung biaya penempatan 28.500 tentara Amerika di wilayahnya. Selain itu, detail perjanjian tarif perdagangan yang dinegosiasikan secara terburu-buru juga masih belum difinalisasi.
Menurut Jun Kwang-woo dari Institute for Global Economics, baik Washington maupun Seoul tampaknya sengaja menghindari isu-isu sensitif, termasuk sikap Korea Selatan terkait ketegangan antara China dan Taiwan.
Pola Negosiasi Trump
Para analis menilai Trump kembali menggunakan pola negosiasi khasnya: mengguncang lawan terlebih dahulu, lalu mencari titik temu di tahap akhir.
“Formula dasar Trump selalu dimulai dengan memberi tekanan besar, lalu pada akhirnya mencapai kesepakatan yang bisa diterima,” kata Yang Uk dari Asan Institute for Policy Studies.
Lee pun mengakui dirinya sudah mempelajari gaya tersebut. "Karena pentingnya aliansi Korea–AS, saya yakin Trump tidak akan melukai hubungan ini," ujarnya.