Sumber: Bloomberg | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Perusahaan private equity tengah kesulitan menemukan pembeli untuk melepas investasi mereka. Kini mereka kembali mengandalkan strategi lama dengan menarik uang tunai dari perusahaan portofolio melalui utang baru yang digunakan untuk membayar dividen kepada diri mereka sendiri dan para investornya.
Menurut data Bloomberg, pinjaman untuk pendanaan dividen (dividend recapitalization) telah mencapai US$ 28,7 miliar sepanjang tahun ini, hampir melampaui rekor tahun 2021 sebesar US$ 28,8 miliar. Langkah ini menjadi solusi sementara ketika mesin private equity mulai tersendat lantaran target akuisisi makin langka, sementara proses keluar (exit) dari investasi lama untuk mengembalikan dana ke para investor semakin sulit.
"Semua faktor mendukung dividend recap suku bunga turun, spread ketat, pasar terbuka tetapi pasar IPO dan M&A masih lesu," kata Bill Zox, manajer portofolio di Brandywine Global Investment Management. Investor menginginkan distribusi imbal hasil maka dividend recap memberi waktu tambahan bagi PE untuk menunggu kondisi exit yang lebih baik.
Baca Juga: Gubernur Bank Sentral Thailand Menilai Pelemahan Baht Akan Untungkan Ekonomi
Dividend recap sebenarnya bukan hal baru, tetapi kini digunakan secara lebih agresif. Mekanisme ini sering menuai kritik karena meningkatkan beban utang perusahaan, hingga memicu kekhawatiran dari investor utang. Namun, tahun ini posisi tawar justru berada di tangan peminjam karena permintaan terhadap pinjaman lebih besar dibandingkan pasokan utang baru.
Contohnya, Thoma Bravo baru-baru ini mendapat sorotan setelah mengantongi pinjaman US$ 750 juta untuk Darktrace guna membayar distribusi kepada pemegang saham kebijakan yang disebut Fitch Ratings sebagai agresif dengan leverage tinggi.
Pada Oktober, firma itu juga menambah utang pada Ping Identity untuk membantu mendanai pembayaran sekitar US$ 1 miliar, dan sebelumnya mengamankan pinjaman US$ 1,35 miliar untuk Proofpoint. Bahkan produsen yogurt Chobani turut mengambil pinjaman US$ 1,35 miliar guna membiayai pembayaran kepada pemiliknya.
PE beralih ke berbagai cara lain untuk membuka likuiditas, seperti memindahkan aset ke continuation funds, menjual kepemilikan di pasar sekunder, hingga meminjam dengan jaminan portofolio melalui pinjaman kompleks berbunga tinggi.
Menurut PitchBook, distribusi dana industri ini melambat drastis hingga diperkirakan butuh 9 tahun bagi investor untuk menarik kembali modal dari lebih dari 12.000 perusahaan yang dimiliki buyout fund AS. Kondisi ini membuat investor enggan menambah komitmen baru, sementara laporan Bain & Co. mencatat ada lebih dari 18.000 dana private capital yang mencari pendanaan sebesar US$ 3,3 triliun.
"Alasan utama sponsor melakukan ini adalah karena mereka kesulitan memonetisasi investasi mereka," kata Matthew Mish, kepala strategi kredit publik dan privat di UBS Group. Menurut dia, pasar IPO mulai mencair tetapi belum cukup untuk menjadi jalan keluar. LP tidak mendapatkan kembali uang mereka.
Tren dividend recap juga didorong oleh dinamika pasar utang. Sekitar US$ 915 miliar pinjaman telah dijual sepanjang 2025 atau 16% lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu dan 80% di antaranya hanyalah refinancing atau repricing, sehingga relatif sedikit pasokan utang baru yang tersedia.
Selain itu, meningkatnya aktivitas Collateralized Loan Obligations (CLO) pembeli terbesar untuk pinjaman leverage juga menjadi pendorong. Penjualan obligasi CLO telah mencapai US$ 151 miliar, naik sekitar 4,7% dari tahun lalu.
Namun, banyak aset yang tak menunjukkan kinerja baik, membuat perusahaan PE sulit menjualnya. "Jika aset saya tidak perform, saya tidak akan menjualnya ke firma PE lain yang juga tahu aset mereka sendiri bermasalah,” kata Mish. Jadi cara termudah adalah melakukan recapitalization dan menjualnya ke investor yang kurang selektif terhadap risiko kredit, yaitu CLO.













