kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.286.000   8.000   0,35%
  • USD/IDR 16.722   27,00   0,16%
  • IDX 8.242   -33,17   -0,40%
  • KOMPAS100 1.150   -4,66   -0,40%
  • LQ45 842   -2,15   -0,25%
  • ISSI 285   -0,47   -0,16%
  • IDX30 441   -2,54   -0,57%
  • IDXHIDIV20 511   -0,99   -0,19%
  • IDX80 129   -0,47   -0,36%
  • IDXV30 136   -1,17   -0,85%
  • IDXQ30 141   -0,13   -0,10%

Ranking Daya Saing Digital Dunia, Swiss Nomor Satu dan Indonesia Nomor 51


Selasa, 04 November 2025 / 15:40 WIB
Ranking Daya Saing Digital Dunia, Swiss Nomor Satu dan Indonesia Nomor 51
ILUSTRASI. Swiss jadi negara dengan daya saing terbaik di bidang digital tahun ini


Reporter: Harris Hadinata | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - LAUSANNE. Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Center (WCC) kembali mengumumkan peringkat daya saing negara-negara di bidang digital. Pemeringkatan ini terangkum dalam laporan 2025 World Digital Competitiveness Ranking (WDCR), yang dipublikasikan Selasa (4/11). 

Dalam pemeringkatan tahun ini, Swiss menempati peringkat pertama sebagai negara dengan daya saing terbaik di bidang digital. Swiss naik satu peringkat dibanding posisi tahun lalu.

Sementara peringkat kedua dan ketiga ditempati oleh Amerika Serikat (AS) dan Singapura. AS naik dari peringkat empat tahun lalu, sementara peringkat Singapura turun dua tingkat. Tahun lalu, Singapura berada di peringkat pertama.

Baca Juga: Daya Saing Digital Indonesia di 2025 Merosot Tajam ke Peringkat 51

Negara lain yang masuk dalam 10 besar negara dengan daya saing terbaik di bidang digital, menurut IMD, secara berurutan, yakni Hong Kong, Denmark, Belanda, Kanada, Swedia, Uni Emirat Arab, dan Taiwan.

Sementara tahun ini Indonesia berada di peringkat 51. Peringkat Indonesia merosot delapan tingkat dibanding posisi di 2024 silam.

IMD juga mendapati, fragmentasi geopolitik, yang sudah merasuki bidang politik, ekonomi, dan perdagangan global, ikut mempengaruhi daya saing masing-masing negara. Fragmentasi geopolitik ini antara lain terlihat dari munculnya hambatan perdagangan dan investasi.

Baca Juga: Bank Digital Kian Serius Menyisiri Segmen Unbanked

Fragmentasi geopolitik ini berimplikasi pada kecakapan digital suatu negara. Otomatis, ini juga berdampak bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negara tersebut.

“Konflik perdagangan telah berkembang sedemikian rupa sehingga kini memengaruhi kekayaan intelektual, arus data, dan standar teknis di tingkat nasional,” kata José Caballero, Ekonom Senior WCC, seperti dikutip dalam keterangan resmi, kemarin.

Penelitian WCC ini juga mendapati, ternyata ekonomi digital sangat terpengaruh oleh fragmentasi geopolitik dan perdagangan. “Akan mengejutkan bagi sebagian orang bahwa fragmentasi perdagangan dapat memengaruhi daya saing digital secara signifikan, karena sekilas, ekonomi digital tampak tidak bergantung pada arus perdagangan tradisional karena sifatnya yang tidak berwujud,” terang Arturo Bris, Direktur WCC.

Baca Juga: Unilever Indonesia (UNVR) Umumkan Purna Tugas Willy Saelan dari Jajaran Direksi

Data WDCR 2025 menunjukkan, negara-negara dengan perekonomian yang paling tidak terdampak fragmentasi perdagangan justru mengalami kemajuan pesat di bidang digital. Ini misalnya tampak di Qatar, yang mencatatkan kenaikan enam peringkat ke peringkat 20.

Sementara negara-negara yang paling terdampak fragmentasi geopolitik dan perdagangan justru mengalami penurunan peringkat daya saing. Misalnya, Australia yang kini berada di peringkat ke-23, turun delapan peringkat dari tahun lalu.

Untuk menyusun WDCR 2025 ini, IMD WCC melakukan survei terhadap 6.162 eksekutif senior di 69 negara. Ada 21 pertanyaan yang diajukan dalam survei.

Salah satu pertanyaannya: “Di bidang manakah konflik perdagangan internasional memiliki dampak terbesar terhadap strategi digital organisasi Anda?"

Baca Juga: Perbankan Digital Makin Pacu Penyaluran Digital Lending

Dari sini, WCC menyimpulkan, negara-negara yang banyak eksekutifnya memilih salah satu dari lima opsi, yakni akses dan ekspansi pasar, akses ke teknologi, lingkungan regulasi, inovasi dan litbang, serta akuisisi dan retensi talenta, lebih berpotensi menjadi negara maju dari posisi negara berkembang saat ini.

Analisis lebih lanjut terhadap jawaban para eksekutif juga menunjukkan bahwa perusahaan tidak dapat mengisolasi satu area tindakan tanpa menghadapi kendala di area lain. Misalnya, dampak terhadap akses pasar dapat meluas ke permasalahan hambatan dalam akuisisi talenta, inovasi, riset dan pengembangan, serta kepatuhan regulasi.

Oleh karena itu, para pemimpin yang bertanggung jawab untuk mengembangkan ketahanan strategis perusahaan perlu mengembangkan kapabilitas di berbagai bidang digital, termasuk kemampuan adaptasi regulasi dan geopolitik serta fleksibilitas yurisdiksi.

Baca Juga: AI Bisa Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi 8%, Komdigi Soroti Tata Kelola Digital Nasional

WCC juga mengidentifikasi empat tren sektoral yang sangat relevan dengan kebijakan digital masa depan. Pertama, industri yang padat infrastruktur mencetak kinerja lebih baik daripada ekspektasi.

Kedua, sektor berbasis pengetahuan berkinerja buruk, meskipun memiliki kepentingan strategis. Ketiga, kurangnya ketersediaan modal ventura menjadi kendala bagi semua industri. Keempat, kerangka tatakelola tidak konsisten di berbagai industri.

Selanjutnya: Strategi Investasi Deposito Minim Risiko di myBCA untuk Pemula

Menarik Dibaca: Strategi Investasi Deposito Minim Risiko di myBCA untuk Pemula




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×