Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - PHILADELPHIA/SEOUL. Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung menjadikan proyek “Make American Shipbuilding Great Again” sebagai kartu andalan dalam kunjungan resmi pertamanya ke Amerika Serikat, di tengah negosiasi alot soal perdagangan dan keamanan.
Pada Selasa (26/8/2025), Lee mengunjungi galangan kapal milik grup Hanwha di Philadelphia, sehari setelah bertemu Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih.
Dari total komitmen investasi Korsel sebesar US$350 miliar di AS, sektor galangan kapal mendapat porsi terbesar yakni US$150 miliar.
Baca Juga: Presiden Korsel Bertemu Trump: Tenang, Tanpa Drama dan Penuh Sanjungan
Hanwha sendiri berencana menggelontorkan US$5 miliar untuk menambah dua dok dan tiga dermaga baru, agar produksi bisa melonjak dari kurang dari dua kapal per tahun menjadi hingga 20 kapal.
“Proyek yang saya ajukan kepada Presiden Trump bukan hanya soal membangun kapal perang besar dan kapal canggih, tetapi untuk menghidupkan kembali sebuah mimpi yang hilang,” ujar Lee.
Trump sendiri menyatakan ingin menghidupkan kembali kejayaan galangan kapal AS agar mampu bersaing dengan China, produsen kapal terbesar dunia sekaligus pemilik armada laut tempur terbesar.
Investasi Strategis dan Tantangan Tarif
Kunjungan Lee juga menghasilkan 11 kesepakatan bisnis non-binding antara perusahaan AS dan Korea Selatan di bidang galangan kapal, energi nuklir, kedirgantaraan, gas, dan mineral strategis.
Baca Juga: Presiden Korsel Gaungkan 'Make America Shipbuilding Great Again' pada Kunjungan ke AS
Di sektor maritim, HD Hyundai bersama Korea Development Bank dan Cerberus Capital membentuk dana investasi multibillion dollar untuk memperkuat kemampuan maritim AS dan sekutunya.
Sementara Samsung Heavy Industries menjalin kemitraan dengan Vigor Marine Group untuk modernisasi galangan kapal, perawatan kapal Angkatan Laut AS, serta pembangunan bersama kapal baru.
Namun, Gubernur Pennsylvania Josh Shapiro menyoroti kebijakan tarif Trump yang justru membuat biaya impor komponen naik, sehingga mempersulit perusahaan Korsel dan menaikkan harga bagi konsumen AS.
Ambisi vs Realitas Industri
Meski ambisi besar telah dipamerkan, kebangkitan industri galangan kapal AS tidak akan mudah.
Kapasitas produksi AS yang pernah menjadi nomor satu dunia pada era Perang Dunia II kini tinggal 0,04% pangsa pasar global, sementara China dan Korea Selatan menguasai 83%.
Baca Juga: Korean Air Pesan 103 Pesawat Boeing di Tengah Pertemuan Puncak AS dan Korea Selatan
Menurut eksekutif Hanwha Ocean, fasilitas galangan kapal AS banyak yang sudah tua, kekurangan teknisi terampil, dan melatih tenaga kerja baru bisa memakan waktu 4–5 tahun.
Kendala pasokan bahan baku seperti pelat baja juga bisa menghambat.
Selain itu, aturan proteksionis seperti Jones Act (1920) yang mewajibkan kapal antar-pelabuhan domestik dibuat di AS, serta Byrnes-Tollefson Amendment yang melarang pembangunan kapal AL AS di luar negeri, menjadi penghalang besar.
Meski demikian, presiden AS memiliki wewenang memberi pengecualian atas dasar keamanan nasional.
Trump menegaskan sebagian kapal AS masih akan dibangun di Korea Selatan, sembari berjanji memproduksi kapal dengan tenaga kerja AS di dalam negeri.
“Kami akan membeli kapal dari Korea Selatan, tetapi kami juga akan membangun kapal di sini bersama pekerja kami,” kata Trump.