kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Resesi Seks Melanda Jepang dan Korea, Apa Penyebabnya?


Selasa, 29 November 2022 / 05:07 WIB
Resesi Seks Melanda Jepang dan Korea, Apa Penyebabnya?
ILUSTRASI. Resesi seks melanda Jepang dan Korea Selatan seiring adanya perubahan gaya hidup. REUTERS/Kim Kyung-Hoon


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - Resesi seks melanda Jepang dan Korea Selatan seiring adanya perubahan gaya hidup. 

Melansir Daily Star, di tahun 2020-an, kebebasan seksual saat ini menjadi hal yang tidak terbayangkan oleh orang-orang 100 tahun yang lalu.

Namun, yang mengejutkan, semakin banyak orang yang berpaling dari seks.

Resesi seks ini menjadi fenomena dunia. Akan tetapi Jepang, secara khusus, tampaknya menunjukkan jalan menuju masa depan tanpa seks.

Data yang dihimpun Daily Star pada Januari 2000 menunjukkan, 10% pria Jepang masih perjaka di usia 30-an. Runtuhnya dorongan seks di negara itu juga berdampak pada angka kelahiran, dengan anak menjadi semakin langka.

Tidak ada yang yakin mengapa Jepang memimpin dunia dalam tren yang mengkhawatirkan ini. Jam kerja yang panjang terkadang disalahkan. Pun demikian dengan meningkatnya popularitas internet.

Banyak komentator menunjuk munculnya robot sebagai penyebab. Orang Jepang adalah produsen robot terbesar di dunia, dan pengguna robot terbesar di dunia.

Dengan 300 robot untuk setiap 10.000 orang, orang Jepang semakin nyaman bekerja bersama robot dan relaksasi menyebar dari tempat kerja. Robot seks, mitra holografik, dan pendamping digital lebih populer di Jepang daripada di wilayah lain mana pun.

Kini, Jepang mengalami krisis populasi muda. Mengutip The Guardian, lingkungan Sugamo di Tokyo telah lama menjadi kiblat bagi anggota populasi ibu kota yang lebih tua. Tetapi demografi miring Jepang menunjukkan bahwa, dalam beberapa dekade mendatang, kota semacam ini akan terus bermunculan. 

Baca Juga: Ini Bujuk Rayu China kepada Warganya Agar Mau Punya Anak Banyak

Ini adalah gambaran sekilas masa depan Jepang di mana banyak populasi orang tua dan berpenduduk lebih sedikit. Dampaknya tidak main-main, yakni tenaga kerja yang berkurang dan ekonomi yang menyusut.

Populasi Jepang yang merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia, telah menurun selama beberapa tahun dan mengalami rekor penurunan 644.000 pada 2020-21, menurut data pemerintah. Diperkirakan, jumlah populasi akan semakin anjlok dari posisi saat ini 125 juta menjadi sekitar 88 juta pada tahun 2065. Itu artinya terjadi penurunan sebesar 30% dalam 45 tahun.

Saat jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun terus bertambah – kini jumlahnya mencapai lebih dari 28% populasi – angka kelahiran tetap sangat rendah. 

Seorang wanita Jepang dapat berharap memiliki rata-rata 1,3 anak selama hidupnya – jauh di bawah 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran populasi saat ini.

Dorongan resmi untuk memiliki lebih banyak anak dan peringatan bahwa penurunan populasi dalam jangka panjang akan merusak kesehatan ekonomi, tidak banyak berpengaruh.

Pada tahun 2021, jumlah kelahiran di Jepang mencapai 811.604. Ini merupakan level terendah sejak pencatatan pertama kali dilakukan pada tahun 1899. 

Baca Juga: Program Bayi Tabung Klinik Blastula IVF Berhasil Hadirkan Bayi ke-100

Seperti rekan-rekan mereka di negara tetangga Korea Selatan, wanita Jepang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak – terhalang oleh tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa banyak orang untuk berhenti bekerja begitu mereka hamil dan memikul beban pekerjaan rumah tangga dan tugas mengasuh anak. 

“Dulu saya berpikir saya akan menikah pada usia 25 tahun dan seorang ibu pada usia 27 tahun,” kata Nao Iwai, seorang mahasiswa di Tokyo. 

“Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya takut memiliki anak. Kalau punya anak di Jepang, suami tetap bekerja tapi ibu diharapkan berhenti dari pekerjaannya dan menjaga anak," jelas Iwai. 

Iwai juga merasa kesulitan untuk membesarkan anak, secara finansial, mental dan fisik. Meski pemerintah mengatakan akan memberikan dukungan yang lebih baik untuk keluarga dengan anak kecil, tetapi dia tidak terlalu percaya pada janji politisi.

Menurut Yuka Minagawa, seorang profesor di Universitas Sophia di Tokyo, tingkat kesuburan yang rendah sebagian merupakan gejala dari kemajuan yang dicapai wanita Jepang dalam beberapa tahun terakhir.

Pencapaian pendidikan yang lebih baik dan peningkatan jumlah perempuan di tempat kerja berarti mereka menikah, dan memiliki anak, jauh lebih lambat dari ibu dan nenek mereka.

“Faktor yang mungkin menyebabkan keengganan wanita Jepang untuk menikah adalah meningkatnya biaya pernikahan,” tulis Naohiro Yashiro, seorang profesor di Showa Women’s University, dalam esai baru-baru ini untuk situs Forum Asia Timur.

“Dengan pendidikan yang lebih tinggi, lebih banyak perempuan muda yang memiliki upah yang sama dengan laki-laki, sehingga rata-rata masa pencarian pasangan mereka lebih lama. Saat ini, rata-rata usia perkawinan pertama bagi perempuan adalah 29 tahun, jauh melampaui 25 tahun pada 1980-an – ketika sebagian besar perempuan hanya lulusan SMA.”

Baca Juga: China Akan Bebaskan Puluhan Utang dari 17 Negara Afrika

Meski pemerintah Jepang pada bulan lalu mengumumkan peningkatan dukungan finansial sebelum dan sesudah melahirkan, namun pemerintah belum mengatasi tekanan jangka panjang pada tingkat kelahiran. Sebut saja seperti biaya penitipan anak prasekolah dan pendidikan wajib, serta meningkatnya biaya hidup. 

“Jepang bukanlah tempat di mana sembarang orang dapat memiliki satu anak atau lebih,” kata Minagawa.

Dia menambahkan bahwa banyak ibu berjuang untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. 

“Wanita terus mengambil bagian terbesar dari pekerjaan rumah tangga, meskipun mereka juga bekerja di luar rumah.”

Korea Selatan

Kisah serupa juga terjadi di Korea Selatan, yang memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia dan populasi yang menua dengan cepat. 

Penyebabnya adalah munculnya kekhawatiran tentang tekanan pada ekonomi dan sistem pensiun, yang mungkin akan habis dalam beberapa dekade mendatang.

Data The Guardian menunjukkan, populasi menyusut untuk pertama kalinya dalam catatan pada tahun 2021, dan diproyeksikan akan turun lebih jauh, dari saat ini 52 juta menjadi 38 juta, pada tahun 2070. Tingkat kesuburan negara tahun lalu adalah 0,81, terendah di dunia.

Pemerintah daerah telah melaksanakan program untuk mendorong masyarakat memiliki anak. Mereka diberi bantuan uang tunai, bantuan perawatan kesuburan, dukungan untuk biaya pengobatan, dan pinjaman.

Tapi Jung Chang-lyul, seorang profesor kesejahteraan sosial di Universitas Dankook, mengatakan insentif tunai "sama sekali tidak berguna".

“Sementara masalah angka kelahiran yang rendah mungkin tampak penting di permukaan, masalah sebenarnya adalah tidak ada yang bertanggung jawab,” kata Jung, merujuk pada tingginya biaya membesarkan anak dan harga real estat – paling tidak di Seoul, di mana rata-rata harga apartemen di telah naik dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.

Baca Juga: PBB: Negara Ini akan Salip China sebagai Negara Terpadat di Dunia pada 2023

“Dalam masyarakat di mana anak-anak mulai menerima pendidikan swasta sejak usia dua atau tiga tahun, dan prestasi atau upah mereka ditentukan oleh kekayaan orang tua mereka dan biaya pendidikan swasta mereka, mereka yang tidak mampu secara finansial berpikir bahwa melahirkan anak seorang anak seperti melakukan dosa,” paparnya. 

Choi Jung-hee, seorang pekerja kantoran yang baru menikah, tidak memiliki rencana untuk memiliki anak. 

"Hidupku dan suamiku yang utama," katanya. “Kami menginginkan kehidupan yang menyenangkan bersama, dan sementara orang mengatakan memiliki anak dapat memberi kami kebahagiaan, itu juga berarti harus banyak menyerah.”




TERBARU

[X]
×