Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
Tsai mengkritik sistem militer sebelumnya, termasuk pelatihan pasukan cadangan, yang dianggap tidak efisien dan tidak cukup untuk menghadapi ancaman militer Tiongkok yang semakin meningkat, terutama jika China melancarkan serangan cepat ke pulau tersebut.
Wajib militer akan menjalani pelatihan yang lebih intensif, termasuk latihan menembak dan instruksi tempur yang mirip dengan yang digunakan oleh pasukan AS.
Mereka juga akan mempelajari penggunaan senjata yang lebih canggih, termasuk rudal anti-pesawat Stinger dan rudal anti-tank, sesuai dengan rencana yang telah diumumkan sebelumnya.
Baca Juga: Pemimpin Oposisi Senior Taiwan akan Kunjungi China di Tengah Meningkatnya Ketegangan
Yin Hsin-shih, 18 tahun, menyatakan bahwa dia "sedikit bersemangat" untuk bergabung. “Bagi negara ini, hal ini akan memberikan kekuatan pertahanan yang dibutuhkan mengingat negara tetangga kita merupakan ancaman besar bagi negara kita,” katanya, merujuk pada Tiongkok.
Amerika Serikat, yang merupakan pendukung dan penjual senjata terkemuka bagi Taiwan meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik formal, menyambut baik reformasi wajib militer sebagai bagian dari upaya Taiwan untuk meningkatkan kemampuannya dalam mempertahankan diri.
Meskipun demikian, masa tugas wajib militer di Taiwan masih lebih pendek dibandingkan dengan yang di Korea Selatan, yang mensyaratkan masa tugas selama 18 bulan karena menghadapi ancaman dari Korea Utara yang bermusuhan dan memiliki senjata nuklir.
Baca Juga: Saat Ekonomi Global Melambat, Sejumlah Negara di Asia Ini Masih Tumbuh Positif
Setelah Taiwan mengumumkan perpanjangan wajib militer pada tahun 2022, Tiongkok mengkritik Taiwan karena dianggap mencoba menggunakan rakyat Taiwan sebagai "umpan meriam".
Pemerintah Taiwan menolak klaim kedaulatan Beijing dan menegaskan bahwa hanya rakyat Taiwan yang memiliki hak untuk menentukan masa depan mereka.