Sumber: Express.co.uk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Korea Utara biasanya melakukan sejumlah aksi provokasi berupa penghinaan menjelang pemilihan umum AS.
Sebelumnya, Korea Utara telah menghina kepala negara AS dan menyarankan pemilih AS untuk mendukung kandidat tertentu.
Menjelang pemilu 2016, media pemerintah Korea Utara memuji Donald Trump dengan menggambarkannya sebagai "politisi yang bijaksana" dan "kandidat yang berpandangan jauh ke depan".
Sebaliknya, editorial di DPRK Today menyebut calon dari Partai Demokrat Hillary Clinton sebagai sosok yang "membosankan".
Baca Juga: Korea Utara disebut sedang bangun dua kapal selam yang dilengkapi rudal balistik
Analisis yang dilakukan oleh lembaga pemikir nonpartisan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) menemukan bahwa Korea Utara melakukan tindakan provokatif rata-rata dalam 4,5 minggu sebelum atau setelah pemilihan dalam rentang 64 tahun.
Studi tersebut mengamati penghinaan yang dibuat oleh negara yang kini dipimpin Kim Jung-Un selama 32 pemilu sejak 1956.
Baca Juga: Korea Utara: Tambah rudal, perilaku sembrono Korea Selatan yang dorong risiko perang
Victor Cha, mantan pejabat tinggi Dewan Keamanan Nasional, mengomentari temuan tersebut, dan menilai Korea Utara melakukan provokasi untuk memperkuat posisi mereka sendiri.
"Ini adalah taktik khas Korea Utara untuk mencoba bernegosiasi dari posisi yang kuat," katanya seperti yang dikutip dari Express.co.uk.