Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Meskipun Mahkamah Agung AS telah membatasi kewenangan hakim federal untuk mengeluarkan putusan yang berlaku secara nasional, sejumlah hakim tetap memblokir kebijakan Presiden Donald Trump.
Putusan MA yang diumumkan pada 27 Juni disebut Trump sebagai “kemenangan monumental”, namun dampaknya terbukti tidak mutlak.
Putusan tersebut menegaskan bahwa hakim federal tidak lagi dapat mengeluarkan “putusan universal” yang secara nasional menghentikan berlakunya kebijakan pemerintah.
Meski demikian, MA tetap membuka celah melalui beberapa pengecualian yang memungkinkan putusan luas tetap berlaku dalam kondisi tertentu.
Baca Juga: Hakim AS Hentikan Sementara Pembekuan Hibah dan Pinjaman Trump
Sejak putusan itu, beberapa hakim di pengadilan tingkat rendah telah memblokir berbagai kebijakan penting Trump.
Di antaranya adalah larangan suaka di perbatasan AS-Meksiko, penghentian program perlindungan deportasi bagi migran asal Haiti, serta penghapusan situs web pemerintah terkait isu gender.
Ujian besar terhadap dampak putusan MA akan terjadi pada 11 Juli di New Hampshire. Seorang hakim federal akan memutuskan apakah perintah eksekutif Trump yang membatasi kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dapat diberlakukan secara nasional.
Perintah tersebut, yang dikeluarkan saat Trump mulai menjabat kembali Januari lalu, menolak pengakuan kewarganegaraan bagi anak-anak yang lahir di AS tanpa orang tua warga negara atau penduduk tetap sah.
Baca Juga: Upaya Donald Trump Melarang Paspor dengan Penanda Gender Non-Biner Diblokir Hakim
Dalam kasus ini, penggugat berupaya menggunakan pengecualian dari putusan MA dengan mengajukan gugatan class action atas nama bayi-bayi yang terdampak dan orang tua mereka.
Mereka meminta agar hakim mengesahkan status class action secara nasional dan memblokir pemberlakuan perintah eksekutif terhadap kelompok tersebut.
Strategi ini sebelumnya berhasil di Washington, ketika Hakim Randolph Moss memutuskan bahwa larangan suaka Trump melebihi wewenang presiden.
Ia kemudian mengesahkan gugatan class action dan mengeluarkan putusan nasional yang melindungi kelompok migran terkait.
Pemerintah mengajukan banding, sementara penasihat Gedung Putih Stephen Miller menuduh hakim menghindari putusan Mahkamah Agung dengan memperluas cakupan kelompok yang dilindungi.
Menurut Lee Gelernt dari ACLU, kemungkinan akan semakin banyak gugatan class action diajukan. Namun, untuk disahkan sebagai class action nasional, gugatan harus memenuhi ketentuan Aturan 23, termasuk bukti bahwa seluruh anggota kelompok mengalami kerugian serupa.
Hakim Agung Samuel Alito telah mengingatkan agar pengadilan lebih rendah berhati-hati dalam menyetujui class action nasional tanpa kepatuhan ketat terhadap aturan ini.
Baca Juga: Siap-Siap! Trump Sampaikan Pengumuman Penting soal Tarif Perdagangan, Rabu Waktu AS
Pemerintah menyatakan bahwa kelompok penggugat dalam kasus New Hampshire terlalu beragam untuk dianggap satu class action, karena mencakup pencari suaka hingga pemegang visa pelajar.
Pemerintah juga berkomitmen menggugat gugatan class action yang dianggap menyalahgunakan proses hukum.
Selain lewat class action, para hakim juga menggunakan celah hukum lain untuk memblokir kebijakan Trump, seperti pelanggaran terhadap hukum administrasi.
Misalnya, dua putusan pekan lalu membatalkan penghentian perlindungan sementara bagi warga Haiti dan memerintahkan pengembalian situs web Departemen Kesehatan yang dihapus pada awal masa jabatan Trump.
Baca Juga: Donald Trump: Tambahan Tarif 10% untuk Anggota BRICS Segera Berlaku!
Terpisah, dalam sidang di Boston, Hakim Brian Murphy menyatakan kemungkinan untuk tetap memblokir pemotongan dana riset universitas oleh Departemen Pertahanan AS, dengan dasar hukum yang sama.
"Ada argumen kuat bahwa putusan Mahkamah Agung dalam kasus CASA sebenarnya tidak berlaku sepenuhnya," ujar Murphy.