Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Sejumlah serikat buruh besar di Amerika Serikat (AS) menggugat pemerintahan Presiden Donald Trump, menuduh pemerintah melanggar hak Amandemen Pertama (First Amendment) dengan melakukan pemantauan terhadap akun media sosial pemegang visa yang sah di negara tersebut untuk mencari pandangan politik tertentu, termasuk kritik terhadap Israel.
Melansir Reuters, Jumat (17/10/2020%) gugatan ini menjadi tantangan hukum terbaru terhadap kebijakan pengetatan imigrasi yang diberlakukan sejak Trump menjabat pada Januari, yang telah memicu peningkatan deportasi besar-besaran, termasuk terhadap sejumlah pemegang visa resmi.
Baca Juga: Warren Buffett: Panduan Investasi Bijak untuk Pemula
Departemen Luar Negeri AS pada Selasa lalu menyatakan telah mencabut visa sedikitnya enam orang karena komentar mereka di media sosial terkait pembunuhan aktivis konservatif Charlie Kirk.
Tiga serikat buruh utama yakni United Auto Workers (UAW), Communications Workers of America (CWA), dan American Federation of Teachers (AFT) menggugat Departemen Luar Negeri, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi (USCIS), serta Imigrasi dan Bea Cukai (ICE), beserta para pejabat puncak lembaga tersebut di pengadilan federal New York.
Menanggapi gugatan itu, Tommy Pigott, Juru Bicara Utama Deputi Departemen Luar Negeri, mengatakan:
“Amerika Serikat tidak berkewajiban menerima warga asing yang datang ke negara ini untuk melakukan tindakan anti-Amerika, pro-teroris, atau antisemit, serta menghasut kekerasan. Kami akan terus mencabut visa mereka yang membahayakan keselamatan warga kami.”
Baca Juga: Ekspor Singapura Naik 6,9% pada September, Jauh Melampaui Perkiraan
Pihak pemerintahan Trump berpendapat bahwa warga negara asing tidak memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga negara AS, dan bahwa visa merupakan hak istimewa, bukan hak mutlak.
Namun, gugatan yang diajukan oleh ketiga serikat buruh itu menuding adanya program pemerintah berbasis kecerdasan buatan (AI) yang digunakan untuk memantau unggahan media sosial pemegang visa dan menargetkan individu yang memiliki pandangan negatif terhadap pemerintahan Trump, budaya AS, atau kebijakan luar negeri tertentu.
Dalam gugatan disebutkan bahwa pemerintah menyalahgunakan definisi “dukungan terhadap terorisme” untuk mencakup kritik terhadap kebijakan AS atas Israel atau dukungan terhadap rakyat Palestina, dan menggunakan alasan tersebut untuk mencabut visa.
Salah satu kasus yang disorot adalah Mahmoud Khalil, pemegang kartu hijau (green card holder) yang dibebaskan pada Juni lalu setelah ditahan berbulan-bulan karena berpartisipasi dalam demonstrasi pro-Palestina.
Baca Juga: Harga Minyak Melemah Jumat (17/10) Pagi, Brent ke US$60,98 dan WTI ke US$57,37
Para penggugat menilai praktik ini telah membungkam kebebasan berekspresi ribuan anggota serikat mereka yang kini takut bersuara karena risiko tindakan imigrasi.
“Banyak anggota kami berhenti mengungkapkan pandangannya karena pemerintah telah membuktikan bahwa mengucapkan hal yang ‘salah’ dapat berujung pada konsekuensi serius dalam status imigrasi mereka,” tulis gugatan tersebut.