Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali meningkat, memicu kekhawatiran para pelaku pasar bahwa keterlibatan militer Amerika Serikat dalam konflik antara Israel dan Iran dapat memicu aksi jual mendadak (knee-jerk selloff) di pasar keuangan global.
Selain itu, para ekonom memperingatkan bahwa lonjakan harga minyak yang dramatis dapat memperburuk tekanan terhadap perekonomian global yang telah terbebani oleh tarif perdagangan Presiden Donald Trump.
Ancaman Serangan AS: Efek Langsung terhadap Pasar
Menurut Chuck Carlson, CEO Horizon Investment Services, jika Presiden Trump memutuskan untuk meningkatkan keterlibatan militer AS di Timur Tengah, reaksi awal pasar kemungkinan akan negatif.
"Saya bisa melihat reaksi spontan pasar adalah: 'ini kabar buruk'," ujar Carlson.
"Namun eskalasi cepat bisa juga mempercepat penyelesaian konflik," tambahnya.
Baca Juga: Israel Serang Fasilitas Nuklir Iran, Rudal Iran Hantam Rumah Sakit di Israel
Pernyataan Carlson mengacu pada ketegangan antara retorika Trump yang agresif dan sinyal bahwa diplomasi masih memungkinkan.
Pada Rabu, Trump menjawab pertanyaan wartawan dengan menyebut bahwa Iran telah mengajukan diri untuk mengadakan pembicaraan di Gedung Putih, meskipun Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menolak permintaan AS untuk menyerah tanpa syarat.
Reaksi Pasar Global: Emas Naik, Imbal Hasil Obligasi Turun
Pasar keuangan merespons ketegangan dengan mengalihkan modal ke aset aman. Imbal hasil obligasi pemerintah AS (Treasury yield) turun, mencerminkan lonjakan permintaan terhadap instrumen utang sebagai safe haven. Sementara itu, dolar AS menguat hampir 1% terhadap yen Jepang dan franc Swiss sejak pekan lalu.
Peter Cardillo, Chief Market Economist di Spartan Capital Securities, menyatakan, "Saya pribadi tidak berpikir AS akan terlibat penuh dalam perang ini. Tapi jika itu tak terhindarkan, maka dampaknya pada pasar akan langsung terasa. Harga emas akan melonjak, imbal hasil obligasi akan turun, dan dolar akan menguat."
Proyeksi Harga Minyak: Potensi Tembus US$ 100 per Barel
Laporan dari Barclays menyebutkan bahwa harga minyak mentah bisa melonjak hingga US$ 85 per barel jika ekspor Iran turun hingga setengahnya. Dalam skenario terburuk, harga bisa menyentuh US$ 100 per barel jika konflik meluas. Saat ini, harga Brent Crude tercatat sekitar US$ 76 per barel.
Ekonom dari Citigroup memperingatkan bahwa lonjakan harga minyak secara material dapat menjadi guncangan negatif terhadap pasokan global, yang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong inflasi—tantangan besar bagi bank sentral dunia yang saat ini sedang bergulat dengan risiko dari kebijakan tarif perdagangan.
Baca Juga: Kapitalisasi Pasar Kripto Anjlok US$160 Miliar Akibat Perang Israel-Iran
Ketidakpastian Meningkat di Tengah Ancaman Tarif dan Perang
Ketidakpastian geopolitik ini datang di tengah kekhawatiran yang sudah ada terhadap kebijakan perdagangan Trump. Bank Dunia pekan lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 2,3%, turun 0,4 poin persentase, dengan alasan tarif yang lebih tinggi dan ketidakpastian yang meningkat.
Menurut Osman Ali, Global Co-Head of Quantitative Investment Strategies, investor masih berharap bahwa konflik ini tidak akan berubah menjadi perang regional besar. "Sampai ada alasan kuat untuk percaya bahwa konflik ini akan meluas dan melibatkan AS secara langsung, pasar akan mencoba untuk mengabaikan ketidakpastian ini sebisa mungkin."