Sumber: Bloomberg | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini, surplus perdagangan China diperkirakan akan mencapai rekor baru, hampir mencapai US$1 triliun jika tren pertumbuhan ekspor yang tinggi berlanjut.
Berdasarkan data Bloomberg, dalam sepuluh bulan pertama tahun ini, surplus perdagangan barang China mencapai US$785 miliar, naik hampir 16% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Perbedaan antara ekspor dan impor ini menunjukkan bahwa perekonomian China semakin bergantung pada sektor ekspor untuk mendorong pertumbuhan di tengah lemahnya permintaan domestik, yang baru-baru ini coba diperbaiki oleh pemerintah China melalui stimulus ekonomi.
Menurut Brad Setser, seorang peneliti senior di Council on Foreign Relations, meskipun harga ekspor China mengalami penurunan, volume ekspor tetap meningkat tajam. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian China kembali bertumpu pada ekspor untuk memacu pertumbuhan.
Baca Juga: Korea Selatan Akan Beri Subsidi dan Ubah Batas Jam Kerja di Industri Cip
Reaksi Dunia Internasional dan Risiko Tindakan Balasan
Ketidakseimbangan perdagangan yang semakin besar ini menuai reaksi keras dari banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, yang diperkirakan akan memberlakukan tarif tinggi di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Donald Trump.
Di berbagai negara, dari Amerika Selatan hingga Eropa, telah terjadi peningkatan hambatan tarif untuk produk-produk China seperti baja dan kendaraan listrik.
Selain itu, investasi asing di China juga mengalami penurunan signifikan, dengan arus keluar investasi langsung asing (FDI) tercatat lebih besar daripada arus masuk selama sembilan bulan pertama tahun ini.
Jika tren ini terus berlanjut, maka ini akan menjadi tahun pertama sejak 1990 di mana China mengalami arus keluar FDI bersih.
Di dalam negeri, Dewan Negara China menyatakan akan meningkatkan dukungan finansial untuk mendorong pertumbuhan perdagangan luar negeri yang stabil dan memperkuat pembangunan ekonomi.
Baca Juga: Laba Perusahaan di India Catat Kinerja Terburuk Dalam Empat Tahun
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penurunan Permintaan Impor China
Kinerja ekspor China meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sementara permintaan untuk impor melemah akibat berbagai faktor, seperti perlambatan ekonomi domestik, peningkatan elektrifikasi, dan substitusi produk asing dengan barang dalam negeri.
Kombinasi faktor-faktor ini menekan jumlah impor secara keseluruhan, sehingga memperlebar surplus perdagangan.
Surplus yang tercatat pada bulan Oktober menjadi salah satu yang tertinggi dalam sejarah, mendekati rekor pada bulan Juni.
Jika dihitung dalam yuan, surplus ini mencapai 5,2% dari produk domestik bruto (PDB) nominal dalam sembilan bulan pertama tahun ini, tertinggi sejak 2015 dan jauh di atas rata-rata selama dekade terakhir.
Dampak pada Hubungan Perdagangan Global
Surplus perdagangan China tidak hanya meningkat terhadap Amerika Serikat, tetapi juga terhadap berbagai wilayah lain di dunia. Surplus dengan AS naik 4,4% sepanjang tahun ini, dengan Uni Eropa naik 9,6%, dan dengan negara-negara ASEAN melonjak hampir 36%.
Secara keseluruhan, ketidakseimbangan perdagangan ini terus membesar dengan lebih dari 170 negara di mana China mengeskpor lebih banyak dibandingkan dengan yang diimpornya, rekor tertinggi sejak 2021.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Jadi Kunci Menjaga Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
Hal ini memperburuk ketidakseimbangan global yang dapat memicu reaksi ekonomi lebih lanjut dari negara-negara mitra dagang.
Potensi Perang Mata Uang
Kemungkinan perang mata uang juga semakin besar, dengan India menyatakan kesiapan untuk membiarkan nilai rupee melemah jika China menurunkan nilai yuan untuk melawan tarif AS.
Pelemahan yuan akan membuat harga barang-barang China lebih murah di pasar internasional, yang berpotensi meningkatkan surplus perdagangan China dengan negara-negara seperti India, di mana surplus telah mencapai US$85 miliar, meningkat 3% dibandingkan tahun sebelumnya dan lebih dari dua kali lipat dibandingkan lima tahun lalu.