kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,72   14,42   1.59%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

TikTok gandeng Cambridge University, tapi tetap dilarang banyak negara, ini sebabnya


Rabu, 22 Juli 2020 / 07:50 WIB
TikTok gandeng Cambridge University, tapi tetap dilarang banyak negara, ini sebabnya


Sumber: BBC,Reuters | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - LONDON.  TikTok yang selama ini dianggap “alay” sebagai platform video lip sync dan menari,  kini mulai memperbanyak konten edukasi. Bahkan bekerjasama dengan institusi pendidikan seperti Cambridge University.

Tapi mengapa banyak negara melarang aplikasi ini?  Salah satu negara yang baru saja  melarang TikTok adalah India. Ini pukulan berat, mengingat  pengguna TikTok di India adalah yang terbesar di luar China. 

Pemerintah India khawatir aplikasi tersebut bisa menjadi ancaman keamanan nasional, terkait penyalahgunaan data pengguna. Sebelumnya, TikTok  sempat dilarang di Bangladesh dan Indonesia, meskipun kini larangan tersebut telah dicabut.

Australia, Inggris dan Amerika Serikat (AS) merasakan kekhawatiran serupa terkait TikTok. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mempertimbangkan pelarangan TikTok.

Mengutip BBC, Selasa (21/7), TikTok akan menderita kerugian besar jika AS memberlakukan pelarangan. Pasalnya, AS merupakan sumber bisnis dan tempat tinggal banyak bintang TikTok. Salah satunya penari Charli D'Amelio yang punya 17 juta pengikut.

Tapi apa pelarangan TikTok semata-mata urusan mata-mata?  TikTok berada di tengah-tengah pusaran perseteruan Amerika Serikat dan China. Padahal TikTok sendiri ada “darah Amerika”. Begini ceritanya. 

TikTok bermula dari tiga aplikasi berbeda. Yang pertama adalah aplikasi asal AS bernama Musical.ly, yang dirilis pada tahun  2014. 

Pada tahun 2016, raksasa teknologi China Bytedance meluncurkan aplikasi serupa bernama Douyin.  Bytedance kemudian berekspansi secara global dibawah nama TikTok.

Tahun  2018, Bytedance mengakuisisi Muiscal.ly dan melebur aplikasi itu ke dalam operasi TikTok. ByteDance telah berusaha untuk menjauhkan aplikasi dari kepemilikan China, menunjuk mantan eksekutif senior Disney, yakni Kevin Mayer sebagai Chief Executive TikTok.

TikTok juga beberapa kali mencoba melepaskan diri sebagai bagian dari China. Seperti menarik diri dari Hong Kong TikTok telah berdiskusi dengan Pemerintah Inggris selama beberapa bulan terakhir untuk membangun kantor pusat di London, Inggris. Sumber Reuters yang mengetahui masalah tersebut mengungkapkan, hal ini dilakukan TikTok sebagai bagian dari strategi untuk menjauhkan diri dari kepemilikan China.

Kendati begitu, kecurigaan terhadap TikTok tidak hilang.  Mengutip BBC, TikTok mengumpulkan data dari penggunanya yang sangat besar. Apa sajakah? 

TikTok mengumpulkan:
- video yang dilihat dan dikomentari
- data lokasi pengguna
- Model ponsel dan sistem operasi yang digunakan pengguna
- irama yang diperlihatkan orang saat mereka mengetik

Pengungkapan baru-baru ini bahwa aplikasi itu secara teratur membaca clipboard penggunanya. TikTok dapat dibandingkan dengan jejaring sosial lain yang haus data seperti Facebook. Kantor Komisi Informasi Inggris - pengawas privasi - saat ini sedang menyelidiki aplikasi tersebut.

Pompeo mencurigai pengguna TikTok telah mengambil risiko dengan menyerahkan data ke Partai Komunis China. Tapi TikTok berulang kali mewngataksn, data yang dikumpulkan dan disimpan di luar China.

Seperti halnya Huawei, kecurigaan terhadap TikTok tampaknya berdasar pada teori kemungkinan bahwa pemerintah China memaksa ByteDance untuk menyerahkan data pengguna asingnya

Undan-undang Keamanan Nasional di China pada  tahun 2017 memaksa semua organisasi dan penduduk China untuk "mendukung dan bekerja sama dengan operasi intelijen pemerintah".




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×