Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (26/2) mengumumkan pencabutan lisensi yang diberikan kepada Chevron untuk beroperasi di Venezuela.
Ia menuduh Presiden Venezuela Nicolas Maduro gagal memenuhi komitmennya dalam reformasi pemilu dan pengembalian migran.
Dalam unggahan di Truth Social, Trump menyatakan bahwa ia "membatalkan konsesi" yang diberikan dalam "perjanjian transaksi minyak tertanggal 26 November 2022."
Meskipun tidak menyebut Chevron secara langsung, lisensi yang dikeluarkan pada tanggal tersebut memang memungkinkan perusahaan energi AS itu beroperasi di Venezuela.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik 1% Kamis (27/2), Trump Cabut Lisensi Chevron di Venezuela
"Pemerintah AS telah membuat keputusan yang merugikan dan tidak dapat dijelaskan dengan mengumumkan sanksi terhadap perusahaan AS, Chevron," kata Wakil Presiden Venezuela Delcy Rodriguez dalam sebuah pernyataan di Telegram.
Ia juga menyebut bahwa keputusan semacam ini justru memperburuk krisis migrasi dari Venezuela.
Baik Gedung Putih maupun Departemen Luar Negeri AS belum memberikan tanggapan atas pernyataan Trump tersebut.
Sementara itu, Chevron menyatakan bahwa mereka mengetahui pernyataan Trump dan sedang mempertimbangkan implikasinya.
Dampak terhadap Produksi dan Pasar Minyak
Chevron saat ini mengekspor sekitar 240.000 barel per hari dari operasi mereka di Venezuela, yang mencakup lebih dari seperempat total produksi minyak negara tersebut.
Dengan berakhirnya lisensi ini, Chevron tidak lagi dapat mengekspor minyak mentah Venezuela.
Baca Juga: Kombinasi Tarif Trump, Danantara dan Kasus Korupsi Membebani Performa Aset Investasi
Jika perusahaan minyak negara Venezuela, PDVSA, mengambil alih ekspor tersebut, kilang-kilang AS juga tidak bisa membelinya karena terhalang oleh sanksi AS.
"Sejak kembali menjabat pada Januari, Trump berulang kali mengatakan bahwa AS tidak membutuhkan minyak Venezuela," tulis seorang sumber industri energi.
Kebijakan ini sejalan dengan pendekatan "tekanan maksimum" yang diterapkan Trump selama masa jabatan pertamanya terhadap pemerintahan Maduro, khususnya dalam sektor energi.
Di sisi lain, pemerintahan Biden sempat melonggarkan sanksi terhadap Venezuela untuk mendorong pemilu yang lebih adil dan demokratis.
Namun, pada April lalu, Biden kembali memperketat sanksi minyak dengan alasan bahwa Maduro gagal memenuhi janjinya terkait pemilu, meskipun saat itu lisensi Chevron masih dipertahankan.
Baca Juga: Heboh! Beredar Video Deepfake Trump Cium Kaki Elon Musk, Pelaku Peretasan Diburu
Menurut seorang sumber yang memahami industri minyak Venezuela, pembayaran pajak dan royalti dari lisensi Chevron telah menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintahan Maduro sejak awal 2023.
Dana tersebut membantu pemulihan ekonomi Venezuela, khususnya di sektor minyak dan perbankan yang mengalami pertumbuhan tahun lalu.
Menteri Energi AS Chris Wright menanggapi keputusan Trump dengan mengatakan bahwa AS tetap menjadi produsen minyak terbesar di dunia. "Gangguan kecil dari negara lain tidak akan berdampak besar pada pasokan global," ujarnya.
Reformasi Pemilu dan Ketegangan Politik
Trump juga menyinggung soal kesepakatan dengan Caracas yang disebutnya akan memungkinkan pemulangan migran Venezuela di AS secara legal.
Ia mengklaim bahwa Maduro tidak memenuhi "kondisi pemilu" yang telah disepakati, meskipun tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Washington sebelumnya menolak hasil dua pemilu terakhir di Venezuela, termasuk kemenangan Maduro dalam pemilu Juli 2024.
Baca Juga: Trump Perintahkan PHK Massal, Musk Pimpin Pemangkasan Anggaran
Oposisi Venezuela mengklaim bahwa mereka memenangkan pemilu tersebut dengan selisih besar, dan klaim ini didukung oleh AS serta negara-negara Barat lainnya.
Dengan dicabutnya lisensi ini, Chevron hanya memiliki waktu hingga 1 Maret sebelum perjanjian tersebut benar-benar berakhir.
Hingga kini, belum jelas bagaimana nasib kargo minyak mentah Venezuela yang sedang dalam perjalanan ke pelabuhan AS atau yang akan dikirim sebelum akhir bulan ini.
Pemerintahan Maduro selama ini menentang sanksi AS dan menyebutnya sebagai "perang ekonomi" yang bertujuan melumpuhkan Venezuela.
Meskipun demikian, Maduro juga kerap menyatakan bahwa negaranya mampu bertahan menghadapi tekanan ini.
Ketika lisensi pertama kali diberikan, Chevron masih memiliki piutang sekitar US$3 miliar dari Venezuela. Berdasarkan rencana pemulihan utangnya, perusahaan ini seharusnya bisa mendapatkan kembali sekitar US$1,7 miliar pada akhir 2024, seiring dengan peningkatan produksi minyak yang diproyeksikan mencapai 200.000 barel per hari.
Namun, pencabutan lisensi ini menjadi pukulan kedua bagi Chevron dalam sebulan terakhir.
Sebelumnya, pada Februari, perusahaan mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 20% dari tenaga kerja globalnya pada akhir 2026 sebagai bagian dari upaya efisiensi biaya dan penyederhanaan bisnis.