Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - RIYADH. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memulai kunjungan luar negeri keduanya sejak kembali menjabat, dengan agenda yang difokuskan pada penguatan kerja sama ekonomi bersama negara-negara Teluk. Kunjungan empat hari ini mencakup Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA), tanpa menyertakan Israel dalam rute diplomatiknya.
Trump tiba di Riyadh pada hari Selasa, ditemani oleh sejumlah tokoh bisnis terkemuka AS seperti CEO Tesla Elon Musk, CEO BlackRock Larry Fink, dan CEO Blackstone Stephen Schwarzman. Kunjungan ini menandai perubahan pendekatan kebijakan luar negeri AS dari diplomasi keamanan menuju diplomasi ekonomi.
Forum Investasi AS-Arab Saudi: Komitmen Triliunan Dolar
Kunjungan Trump dimulai dengan partisipasi dalam Saudi-US Investment Forum yang berlangsung di Riyadh. Menteri Investasi Arab Saudi, Khalid Al-Falih, menyatakan bahwa hubungan ekonomi antara kedua negara telah berkembang jauh melampaui sektor energi.
“Ketika Amerika dan Saudi bergabung, hasilnya luar biasa,” ujar Al-Falih saat membuka forum yang ditandai dengan visual elang dan falcon terbang—simbol kekuatan dan persahabatan.
Arab Saudi sebelumnya telah berkomitmen untuk menginvestasikan US$600 miliar di Amerika Serikat selama empat tahun ke depan. Namun, Trump disebut-sebut akan menegosiasikan peningkatan nilai investasi tersebut hingga US$1 triliun, mencerminkan ambisi besar untuk memperkuat kerja sama ekonomi bilateral.
Baca Juga: Trump Kunjungi Putra Mahkota Saudi dalam Lawatan ke Timur Tengah, Bahas Apa Saja?
Kerja Sama Pertahanan: Paket Senjata US$100 Miliar
Sumber terpercaya menyebutkan bahwa dalam kunjungan ini, Trump akan menawarkan paket persenjataan lebih dari US$100 miliar kepada Arab Saudi. Paket tersebut diperkirakan mencakup pesawat angkut militer C-130 serta teknologi pertahanan canggih lainnya.
Langkah ini menunjukkan upaya strategis Trump untuk memperkuat aliansi militer AS di kawasan, meskipun isu sensitif seperti normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel akan dihindari selama pertemuan ini.
Peran Sentral Qatar dan UEA: Fokus pada Infrastruktur dan Energi
Setelah Riyadh, Trump akan melanjutkan kunjungannya ke Qatar dan Uni Emirat Arab, dua negara dengan kepentingan ekonomi yang meningkat dalam hubungan dengan AS. Di Qatar, Trump diperkirakan akan menerima hadiah simbolis berupa pesawat Boeing 747-8 mewah, yang akan dihibahkan ke perpustakaan kepresidenannya setelah masa jabatannya berakhir.
Di UEA, agenda utama mencakup kesepakatan investasi sektor infrastruktur, energi hijau, dan teknologi. Kedua negara Teluk ini diperkirakan akan mengumumkan kolaborasi besar-besaran dengan total nilai investasi yang bisa mencapai triliunan dolar AS.
Ketegangan Regional: Di Balik Bayang-bayang Konflik
Meskipun tujuan utama kunjungan adalah ekonomi, latar belakang geopolitik kawasan tidak bisa diabaikan. Konflik di Gaza, potensi eskalasi atas program nuklir Iran, dan perang Rusia-Ukraina tetap menjadi perhatian global.
Baca Juga: Kabar Baik! Kesepakatan Tarif AS-China Redakan Ancaman Resesi
Pemerintah Trump dikabarkan mendorong mekanisme bantuan baru untuk Gaza serta kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Selain itu, diskusi tertutup antara diplomat AS dan Iran di Oman mengisyaratkan adanya peluang diplomatik untuk meredam ketegangan terkait program nuklir Teheran.
Trump juga menyatakan kemungkinan melakukan perjalanan tambahan ke Turki untuk memfasilitasi pembicaraan langsung antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, meskipun hal ini belum dikonfirmasi secara resmi.
Proyeksi Abraham Accords: Tantangan Normalisasi
Trump dan timnya berharap dapat memperluas Abraham Accords, inisiatif diplomatik yang berhasil memulihkan hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab selama masa jabatan pertamanya.
Namun, sumber diplomatik menyebutkan bahwa penolakan PM Israel Benjamin Netanyahu terhadap solusi dua negara dan penghentian permanen perang di Gaza menjadi hambatan utama dalam pendekatan terhadap Arab Saudi.
Meskipun demikian, Trump optimis bahwa perjanjian serupa dapat dicapai dalam jangka panjang, terutama setelah stabilisasi konflik dan perubahan dalam kepemimpinan regional.