Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada awal pekan ini, para ekonom dan pelaku pasar menyambut gembira tercapainya kesepakatan dagang sementara antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Dalam kesepakatan tersebut, Presiden Donald Trump setuju untuk menurunkan tarif terhadap produk Tiongkok dari 145% menjadi 30% selama 90 hari ke depan, sembari kedua negara melanjutkan proses negosiasi. Sebagai timbal balik, Tiongkok juga menurunkan tarif terhadap berbagai produk asal Amerika Serikat.
Mengutip investopedia, langkah ini berhasil meredakan ketegangan perdagangan yang telah membebani ekonomi global selama beberapa tahun terakhir, serta mendorong revisi turun terhadap prediksi resesi oleh berbagai lembaga pemantau ekonomi.
Risiko Resesi Turun Signifikan, Namun Belum Hilang Sepenuhnya
Menurut Oxford Economics, probabilitas terjadinya resesi di Amerika Serikat dalam 12 bulan ke depan kini menurun dari lebih dari 50% menjadi 35%. Hal ini mencerminkan optimisme baru terhadap prospek ekonomi jangka pendek, didorong oleh penurunan tekanan inflasi dan prospek penguatan konsumsi domestik.
Baca Juga: Saham Asia Melonjak Seiring Meredanya Ketegangan Dagang AS-China
Matthew Luzzetti, Kepala Ekonom di Deutsche Bank, menyatakan bahwa meredanya ketegangan dagang secara langsung mengurangi risiko kemerosotan tajam di pasar tenaga kerja dan kontraksi aktivitas ekonomi.
Tekanan Inflasi Melemah, Daya Beli Konsumen Diperkuat
Salah satu efek paling signifikan dari penurunan tarif adalah meredanya tekanan harga. Kathy Bostjancic, Kepala Ekonom di Nationwide, memperkirakan bahwa tingkat inflasi konsumen pada kuartal keempat akan berada di kisaran 3,4%, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 4%.
Turunnya tarif impor berarti pelaku usaha tidak perlu lagi membebankan biaya tambahan kepada konsumen, sehingga harga barang tetap lebih terkendali. Ini sangat penting untuk menjaga daya beli rumah tangga dan stabilitas permintaan domestik.
Masih Ada Beban Tarif yang Belum Dicabut Sepenuhnya
Meskipun ada penurunan signifikan dalam risiko jangka pendek, kenyataannya tarif tinggi masih berlaku terhadap sejumlah negara dan komoditas. AS masih mempertahankan:
-
Tarif sebesar 30% terhadap produk Tiongkok
-
Tarif global sebesar 10% untuk sebagian besar impor
-
Tarif sebesar 25% terhadap baja, aluminium, dan beberapa jenis kendaraan
Lembaga Yale Budget Lab memperkirakan bahwa kesepakatan AS-Tiongkok mengurangi dampak negatif tarif secara keseluruhan sebesar 40%. Namun demikian, keluarga rata-rata di AS masih menghadapi beban biaya sebesar US$2.800 per tahun, hanya turun dari sebelumnya US$4.000.
Ketidakpastian Kebijakan Perdagangan Masih Menjadi Hambatan Investasi
Salah satu faktor utama yang masih menghambat pemulihan penuh ekonomi adalah ketidakpastian tinggi akibat perubahan kebijakan yang sering terjadi. Kebijakan tarif dan perjanjian dagang yang bersifat fluktuatif membuat banyak pelaku usaha menunda investasi dan ekspansi, termasuk dalam perekrutan tenaga kerja baru.
Luzzetti menekankan bahwa ketidakpastian yang tinggi adalah dampak langsung dari proses pembuatan kebijakan yang tidak stabil di bawah pemerintahan Trump. Hal ini menjadikan perlambatan pertumbuhan tetap tak terhindarkan, meskipun tekanan dari tarif mereda.
Baca Juga: AS dan China Sepakati Pemangkasan Tarif Sementara, Ketegangan Dagang Mereda
Tujuan Awal Tarif Mulai Dipertanyakan
Ironisnya, kesepakatan penurunan tarif justru dapat bertentangan dengan tujuan awal kebijakan tarif "besar dan indah" (big beautiful tariffs) yang diklaim oleh Trump. Tujuan utama dari tarif adalah mendorong pemulangan (reshoring) produksi ke dalam negeri AS serta menghasilkan pemasukan besar melalui pajak impor.
Namun menurut James Knightley, Kepala Ekonom di ING, dengan tarif yang sekarang hanya 30%, banyak produsen akan tetap memilih untuk mempertahankan fasilitas produksinya di Tiongkok karena biaya yang tetap lebih rendah dibandingkan memindahkan produksi ke AS.
“Penurunan tarif ini membuat sebagian besar produksi tetap lebih murah dilakukan di Tiongkok dibandingkan harus direlokasi ke AS,” tulis Knightley.