Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Hukum keamanan nasional baru untuk Hong Kong yang diterapkan oleh China, mulai berlaku pada pukul 11 malam waktu setempat (1500 GMT). Hukum ini dapat memberikan perubahan ekonomi, bisnis dan investasi di pusat keuangan global itu.
Mengutip Bloomberg, Rabu (1/7), pasca UU ini diberlakukan tidak ada kejutan besar yang terjadi di pasar. Kendati demikian pergerakan jangka pendek pada saham, yuan dan dolar Hong Kong akan tergantung pada respons Amerika Serikat terhadap UU kontroversial itu.
Baca Juga: Taiwan tegaskan akan bantu warga Hong Kong yang melarikan diri
Di sisi lain, berkat UU ini, ekuitas Hong Kong akan terus mendapatkan dukungan dari pembeli asal China. Para pebisnis memberikan respon atas UU ini, mereka lebih nyaman bila Hong Kong lebih fokus pada isu ekonomi dibandingkan politik.
Kepala Eksekutif Barclays Plc Jes Staley misalnya tegas tidak ingin terlibat dengan kondisi politik ini. Walaupun ia akan mendukung semua kolega dan klien di seluruh Asia dan di China dan di Hong Kong.
“Ini situasi politik yang sangat sulit. Kami tidak akan membuat pernyataan. Kami adalah bank besar Inggris. Kita harus sangat menyadari apa yang sedang terjadi di AS dan posisi yang diambil oleh pemerintah Inggris. Tetapi kami tidak akan terlibat dalam politik Hong Kong,” ujar Staley.
Dalam jangka panjang, UU ini bakal meningkatkan kompleksitas dan risiko bekerja maupun beroperasi di Hong Kong. Jun Bei Liu, manajer portofolio di Tribeca Investment Partners di Sydney menyatakan sebagai investor, ini menyebabkan banyak perusahaan dan investor internasional melihat pasar Asia lainnya, alih-alih Hong Kong menjadi pusat hub.
“Tapi saya pikir Hong Kong masih sangat- sangat relevan dan merupakan hub untuk memiliki akses ke China, yang merupakan pasar yang sangat besar,” tambahnya.
Sedangkan Law Ka-chung, asisten profesor di City University of Hong Kong dan mantan ekonom Bank of Communications (Hong Kong) bilang UU ini membuat dunia melihat Hong Kong bukan lagi pasar kapitalisme gratis. Itu akan mempercepat arus keluar modal dan pelarian modal asing dari Hong Kong.
Selain investasi, berbisnis melalui Hong Kong juga akan sangat terpukul. Lantaran Amerika Serikat, Uni Eropa, India, Jepang, Australia, dan banyak negara lainnya yang anti-China.
"Hong Kong dulunya adalah batu loncatan bagi mereka untuk akhirnya pergi ke China dan menyediakan layanan keuangan di antaranya. Formula ini tidak lagi berfungsi,” papar Chung.
Sedangkan William Nee, seorang analis bisnis dan hak asasi manusia di kantor Amnesty International Hong Kong menyatakan dalam jangka pendek, bisnis di Hong Kong mungkin merasa jeda jika protes keras terhadap UU mereda. Namun UU ini bakal memberanikan Beijing memberikan tekanan politik yang lebih besar pada perusahaan dan karyawan mereka untuk mematuhi agenda China.
Ia menilai pemimpin bisnis di Hong Kong yang mendukung protes, dapat menjadi target jika otoritas Cina ingin memprioritaskan penuntutan tersebut. Namun, untuk saat ini, tidak ada yang tahu bagaimana pihak berwenang akan menggunakan hukum itu.
“Apakah mereka hanya akan menargetkan orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan terhadap polisi atau apakah mereka target mereka akan jauh lebih luas terhadap para pemimpin budaya dan bisnis Hong Kong. Kurangnya kejelasan tentang niat Beijing yang sebenarnya adalah, sejujurnya, salah satu faktor ketidakpastian,” terang Nee.
Baca Juga: Informasi penting soal Hukum Keamanan Nasional Hong Kong yang kontroversial
Richard Harris, mantan direktur Citi Private Bank yang sekarang mengelola Manajemen Investasi Port Shelter di Hong Kong berpendapat UU ini bisa memicu ancaman dari Trump yang dapat menghambat pemulihan ekonomi. Ia melihat bakal terjadi perpindahan bisnis dari Hong Kong ke Singapura.
“Orang-orang akan memutuskan sekarang merupakan waktu yang tepat untuk pindah. Saya tidak sepenuhnya negatif tentang Hong Kong. Saya pikir itu akan tetap menjadi tempat yang bagus untuk melakukan bisnis. Cina masih membutuhkan Hong Kong, sama seperti Hong Kong membutuhkan Cina. Itu tidak akan pernah berubah,” ungkap Harris.
Di sektor pariwisata, pebisnis menilai, turis asal Amerika Serikat bakal menghindari Hong Kong sebagai destinasi wisata. Sam Lau, pemilik lima hostel dan dua agen perjalanan di distrik perbelanjaan Tsim Sha Tsui yang biasanya ramai menyebut hal ini bisa terjadi bila konfrontasi AS-China memanas.
Kendati demikian, ia lebih takut pada pandemi Covid-19 daripada hukum keamanan. Lantaran pandemi telah berhasil membunuh bisnisnya, sementara hukum keamanan hanya mempengaruhi sekelompok kecil orang yang melanggar hukum.
“Untuk pariwisata Hong Kong untuk kembali ke masa lalu, kita akan membutuhkan setidaknya satu atau dua tahun. Sebelum itu, kita hanya perlu mengencangkan ikat pinggang kita dan mencoba bertahan,” tutur Lau.
Baca Juga: Laju bursa AS tertekan kekhawatiran lonjakan Covid-19 dan ketegangan AS-China