Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Dolar Amerika Serikat (AS) menguat stabil pada Kamis (9/10/2025), berada di jalur menuju kinerja mingguan terbaiknya dalam hampir satu tahun.
Penguatan ini didorong oleh pelemahan yen Jepang yang terus tertekan setelah terjadinya pergantian kepemimpinan di Partai Demokrat Liberal (LDP).
Pasar keuangan global pekan ini diguncang oleh gejolak politik di Jepang dan Prancis, serta berlarutnya penutupan sebagian pemerintahan AS (government shutdown). Kondisi tersebut membuat investor mencari aset aman seperti emas dan dolar.
Baca Juga: Robert Kiyosaki Ramal Dolar AS Kolaps, Serukan Selamatkan Kekayaan Lewat 2 Kripto Ini
Yen Jepang mengalami fluktuasi tajam setelah politisi konservatif Sanae Takaichi terpilih sebagai ketua LDP, membuka jalan baginya untuk menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang.
Terpilihnya Takaichi memicu ekspektasi kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran moneter lanjutan.
Pada perdagangan terakhir, yen sedikit menguat ke posisi ¥152,49 per dolar AS, setelah sempat anjlok ke level terendah delapan bulan di ¥153 per dolar.
Sepanjang pekan ini, yen telah melemah lebih dari 3%, menjadi kinerja terburuk sejak September 2024.
“Kenaikan dolar terhadap yen begitu konsisten, dan tampaknya belum ada yang mampu menghentikannya,” ujar Carol Kong, analis mata uang di Commonwealth Bank of Australia.
“Dalam waktu dekat, konfirmasi Takaichi sebagai perdana menteri dan hasil rapat Bank of Japan (BOJ) pada Oktober bisa menjadi pemicu pelemahan yen berikutnya, terutama jika Takaichi menegaskan pandangan dovish terhadap kebijakan fiskal dan moneter,” lanjutnya.
Baca Juga: Indeks Dolar Menguat, Simak Prospek Valas Utama Hingga Akhir Tahun
Sementara itu, euro juga tertahan akibat krisis politik yang membelit Prancis setelah Perdana Menteri Sebastien Lecornu mengundurkan diri bersama pemerintahannya.
Kantor Presiden Emmanuel Macron menyebut pengganti Lecornu akan diumumkan dalam 48 jam ke depan.
Mata uang tunggal Eropa itu terakhir naik tipis 0,09% menjadi US$1,1639, setelah tiga hari berturut-turut melemah, namun masih turun sekitar 0,9% sepanjang pekan ini.
Pergerakan euro dan yen tersebut memberikan dukungan bagi indeks dolar AS, yang menguat lebih dari 1% dalam sepekan, menekan pergerakan mata uang utama lainnya.
Poundsterling naik tipis 0,07% menjadi US$1,3413, sedangkan dolar Australia menguat 0,11% menjadi US$0,6594. Dolar Selandia Baru juga naik 0,1% menjadi US$0,5792, setelah sebelumnya anjlok akibat pemangkasan suku bunga agresif sebesar 50 basis poin oleh Bank Sentral Selandia Baru (RBNZ).
Terhadap sekeranjang mata uang utama, indeks dolar nyaris tidak berubah di level 98,77.
Baca Juga: Rupiah Tertekan Hari Ini (8/10), Indeks Dolar di Posisi Tertinggi Dalam 2 Bulan
Risalah pertemuan The Fed bulan September menunjukkan bahwa pejabat bank sentral sepakat risiko terhadap pasar tenaga kerja AS meningkat, cukup untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga.
Namun, mereka tetap berhati-hati mengingat inflasi yang masih tinggi dan ketidakpastian dampak kebijakan moneter terhadap ekonomi.
“Risalah rapat The Fed menunjukkan kehati-hatian terhadap langkah penurunan suku bunga berikutnya,” kata Kong.
“Pasar masih memperkirakan akan ada dua kali penurunan suku bunga hingga akhir tahun, dan pandangan kami juga sejalan dengan itu,” imbuhnya.
Penutupan pemerintahan AS yang berlarut-larut bisa membuat Fed “terbang buta” dalam rapat bulan Oktober karena keterlambatan publikasi data ekonomi.
Meski demikian, investor masih memperkirakan sekitar 44 basis poin pelonggaran moneter akan terjadi hingga Desember 2025.