Sumber: South China Morning Post | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - HONG KONG. Mantan Wakil Direktur Administrasi Keselamatan Maritim Hainan Zhang Jie seolah tak percaya dengan perubahan yang cepat di Kepulauan Spratly.
Tetapi hal-hal mulai berubah pada tahun 2013, ketika Beijing memulai program pembangunan pulau dan pembangunan infrastruktur untuk mengubah gugusan pulau kecil dan terumbu menjadi pusat penelitian kelautan dan menjadi perhatian beberapa tetangganya.
Baca Juga: China waspada! Kasus corona di pasar Beijing naik jadi 79, risiko penyebaran tinggi
"Saya terkejut ketika melihat foto-foto pesawat sipil mendarat di Fiery Cross Reef [pada 2016], yang hanya berupa batu kecil yang muncul dari laut ketika saya mengunjunginya beberapa tahun sebelumnya," kata Zhang.
"Luar biasa bagaimana mereka mengubahnya menjadi daratan besar dengan landasan terbang sepanjang 3.000 meter," katanya.
Pada tahun-tahun sejak penerbangan pertama itu, pengembangan Spratly terus berlanjut. Mischief dan Subi reef yang bertetangga sekarang juga memiliki landasan terbang yang mampu menampung pesawat besar. Ada juga berbagai bangunan dan fasilitas yang cocok untuk keperluan militer atau sipil seperti hanggar untuk jet tempur.
Kehadiran inilah yang paling menimbulkan kegelisahan di antara negara lain dan hak terkait dengan perikanan dan eksplorasi sumber daya yang tersebar di Laut China Selatan.
Baca Juga: Siap balas AS, China punya senjata pembunuh kapal induk
Keita Beijing mengklaim sekitar 90% dari jalur air yang disengketakan sebagai wilayah kedaulatannya, Vietnam, Malaysia, Brunei, Taiwan dan Filipina juga memiliki klaim sendiri.
Demikian juga, Amerika Serikat dan banyak sekutunya di Eropa telah mengkritik apa yang mereka lihat sebagai gerakan China yang semakin agresif di wilayah tersebut.
Tetapi Zhang yang kini bekerja sebagai peneliti di Institut Nasional Studi Laut Cina Selatan, mengatakan hal tersebut tidak selalu seperti itu. Dalam lebih dari 30 tahun di agensi tersebut, dia bilang ada sejumlah proyek penelitian kolaboratif dengan para ilmuwan dari seluruh wilayah.
"Kami membangun mekanisme komunikasi yang komprehensif dan bekerja bersama untuk menyelamatkan banyak orang," katanya.
Baca Juga: Output industri China Mei naik 4,4%, penjualan ritel turun 2,8%
"Tidak masalah apakah mereka orang China atau Korea atau Vietnam, atau apa pun. Di mata penyelamat, nyawa itu penting, bukan dari mana asalnya. ”
Meskipun Beijing telah berulang kali mengatakan bahwa program pembangunan pulau adalah untuk kebaikan global, tidak hanya memberi manfaat bagi kapal dagang yang lewat tetapi juga nelayan dari seluruh Asia Tenggara, banyak pengamat yang kurang yakin.
"Kecuali mercusuar, penggunaan semua layanan publik lainnya yang ditawarkan oleh China sangat terbatas, sementara jumlah perselisihan antara nelayan Tiongkok dan saingan mereka dari negara-negara tetangga terus meningkat," kata Zhang Mingliang, seorang profesor yang mengkhususkan diri dalam studi Laut Cina Selatan di Universitas Jinan di Guangzhou.
"Perselisihan dan kebuntuan ini adalah hasil dari konsep yang sudah ketinggalan zaman dimana banyak orang China menganggap sumber daya Laut China Selatan sebagai keuntungan eksklusif yang tidak boleh dibagi," kata Zhang.
Baca Juga: Puluhan kasus corona muncul di pasar grosir Beijing, warga China cemas gelombang dua
"Tetapi opsi yang lebih berkelanjutan adalah bagi China, sebagai negara terbesar dan paling kuat di kawasan ini, untuk berbagi sumber daya itu, dan dengan demikian membantu menjaga perdamaian dan stabilitas jangka panjang," ungkapnya.