Sumber: NHK | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Pakar eknonomi memprediksikan, ekonomi Jepang yang hancur akibat pandemi virus corona baru butuh waktu 5 tahun untuk bisa kembali ke kondisi normal.
Banyak pakar memproyeksikan, pandemi virus corona akan meninggalkan dampak yang bertahan selama bertahun-tahun ke depan. Setelah pandemi usai, akan terjadi banyak penyesuaian di bidang sosial, ekonomi, bahkan politik.
Dampak ekonomi jadi salah satu momok paling menakutkan bagi banyak negara. Termasuk, negara dengan perekonomian kuat seperti Jepang.
Analis dari Kantor Kabinet Jepang mengatakan, ekonomi negeri matahari terbit bernasib lebih buruk pada periode April-Juni dengan penyusutan hingga 28,1%. Penyusutan ini sangat jauh lebih dalam dari perkiraan.
Penurunan tersebut merupakan yang paling tajam sejak Pemerintah Jepang mulai menyimpan data komparatif pada 1980. Para ekonom sepakat, jalan menuju pemulihan ekonomi Jepang akan panjang dan sulit.
Baca Juga: Komite Olimpiade Internasional: Olimpiade Tokyo dimulai 23 Juli 2021
Kiuchi Takahide, Ekonom Eksekutif di Institut Penelitian Nomura, memprediksikan, Jepang butuh waktu setidaknya 5 tahun untuk bisa mengembalikan nilai produk domestik bruto (PDB) ke tingkat sebelum pandemi.
"Jalan untuk kembali ke belakang akan sangat sulit bagi sektor pariwisata dan restoran, yang telah terhambat oleh upaya memerangi penyebaran virus," ungkap Kiuchi seperti dikutip NHK.
Jepang selalu gagal mencapai produksi tinggi
Tidak hanya itu, Kiuchi juga mengungkapkan, stagnansi dan penurunan gaji adalah dampak pandemi bagi perekonomian yang lebih serius. Angka PDB Jepang tahun ini menunjukkan upah riil turun sebesar 3,8% pada kuartal kedua.
Penurunan ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang terjadi pada krisis keuangan global 2009 lalu. Saat itu, penurunan upah di Jepang turun 2%. Ini menunjukkan, dampak pandemi bagi perekonomian memang nyata.
"Dampak pandemi pada pendapatan ini terjadi lebih cepat dari dugaan. Kami khawatir hal ini bisa menyebabkan 'spiral negatif' di mana menurunnya pendapatan mendorong penurunan pengeluaran, yang nantinya memicu kemerosotan labih lanjut dalam dunia bisnis," ujar Kiuchi.
Baca Juga: Jepang buka pintu masuk untuk empat negara ASEAN, Indonesia tidak termasuk
Sejak krisis ekonomi global 2009, industri Jepang selalu gagal mencapai produksi tinggi yang terjadi sebelum 2008. Dan saat ini, produksi kembali menurun karena pandemi.
Tingkat konsumsi yang cenderung melemah selama pandemi juga dinilai akan mempertahankan kondisi ini dalam waktu yang cukup lama. Mengancam stabilitas ekonomi Jepang secara berkepanjangan.
Pemerintah dan pengusaha harus cepat beradaptasi
Terkait dengan ekonomi internasional, Kepala Ekonom di Mizuho Securities Kobayashi Shunsuke mengatakan, ekosistem internasional juga sedang berubah merespons dampak pandemi bagi perekonomian.
Kobayashi menyoroti keberhasilan China yang telah bangkit lebih cepat dari negara lain. Hal ini terjadi karena stimulus pemerintah yang meningkatkan output perusahaan pada periode April-Juni. Sayangnya, konsumsi domestik belum mampu mengimbangi.
Di wilayah Barat, Amerika Serikat (AS) dan Eropa, stimulus pemerintah juga sanggup menigkatkan permintaan, tapi masih ketatnya aturan lockdown menyebabkan produsen sulit memenuhi target.
Baca Juga: Puji keberhasilan China tangani pandemi, WHO: Tapi jangan berpuas diri
Kobayashi mengingatkan kepada Pemerintah Jepang, untuk cepat bereaksi atas dinamika yang sedang terjadi.
"Pemerintah perlu menciptakan lingkungan di mana ekonomi dapat berkembang bahkan ketika dunia bergeser ke semacam globalisasi di mana pemblokiran dan pemisahan sedang berlangsung," ungkap Kobayashi kepada NHK.
Salah satu solusi yang diungkapkan Kobayashi adalah optimalisasi mekanisme kesepakatan perdagangan multilateral, seperti Trans-Pacific Partnership dan European Trade Agreement.
Di dalam negeri, para pelaku bisnis harus mengamankan jalur penjualan dan menawarkan nilai lebih pada produknya. Perusahaan yang cepat beradaptasi dalam lingkungan yang berubah-ubah lah yang nantinya dapat bertahan.