Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
"Yang sedang terus terjadi, tahap kedua pandemi sedang berlangsung. Distribusi vaksin yang tidak adil tidak hanya membuat jutaan orang rentan terhadap virus, tapi juga membuat varian berbahaya bermunculan dan mengancam seluruh dunia," tulis mereka.
"Bahkan negara-negara dengan program vaksinasi yang bagus dipaksa untuk membuat pembatasan yang lebih ketat. Ini tidak harus terjadi."
Dalam pertemuan G7 baru-baru ini, para pemimpin dunia dari tujuh negara dengan ekonomi terkuat (Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS) berjanji menyumbangkan satu miliar dosis vaksin ke negara-negara miskin.
Ini masih jauh di bawah perkiraan kebutuhan vaksin di negara miskin menurut perkiraan WHO, yakni 11 miliar dosis. Dan vaksin yang mencapai semua lapisan masyarakat adalah kunci bagi imunitas, selama virus ini masih terus ada di masa mendatang.
"Ada tanggung jawab kesehatan publik dan kemanusiaan untuk memastikan kita mendapatkan distribusi vaksin yang setara di seluruh dunia," kata Profesor Heymann.
Apakah binatang masih menimbulkan risiko?
Perang melawan Sars-Cov-2 juga sangat bergantung pada bagaimana perilaku virus ini terhadap binatang. Hingga saat ini, para ilmuwan masih meyakini bahwa virus corona berasal dari kelelawar dan kemungkinan melompat ke manusia melalui binatang perantara.
Berbagai studi memperlihatkan virus ini bisa menginfeksi kucing, kelinci, hamster dan terutama sangat mudah menular di kalangan cerpelai - ilmuwan di Denmark menemukan bukti transmisi dari cerpelai ke manusia.
Para ahli berkata, selama masih ada binatang di alam yang bisa tertular virus ini, maka selalu ada risiko virus ini bisa menulari manusia.
"Penyakit ini ada di luar sana. Jika tersedia kesempatan, mereka bisa saja melompat (ke manusia)," kata Dawn Zimmerman, dokter hewan liar di Program Kesehatan Global Institut Konservasi Biologi Smithsonian kepada BBC.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jika Covid-19 Tak Bisa Hilang, Begini Gambaran Hidup bersama Virus Corona"
Editor : Aditya Jaya Iswara