kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,78   -2,97   -0.33%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Angka putus sekolah perempuan di Asia melonjak, ini alasannya


Minggu, 20 September 2020 / 14:20 WIB
Angka putus sekolah perempuan di Asia melonjak, ini alasannya
ILUSTRASI. Warga Bangladesh. Angka putus sekolah perempuan di Asia melonjak di tengah pandemi. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain TPX IMAGES OF THE DAY


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - BANGLADESH. Pandemi mendorong keluarga miskin untuk menarik anak perempuan mereka dari bangku sekolah. Mengutip Bloomberg pada Minggu (20/9), kenaikan angka putus sekolah pada anak perempuan guna mengurangi beban keuangan keluarga.

Pandemi telah menghancurkan pekerjaan dan mengurangi pendapatan rumah tangga di kawasan Asia. Juga mengancam menyeret sebanyak 100 juta orang ke dalam kemiskinan yang ekstrem.

Malala Fund menyatakan sebanyak 20 juta lebih anak perempuan usia sekolah menengah bisa putus sekolah secara global. Malala Fund merupakan organisasi nirlaba yang mempromosikan pendidikan anak perempuan. Angka putus sekolah itu akan menambah 35 juta anak perempuan dan laki-laki yang sudah tidak bersekolah di kawasan Asia Pasifik.

Baca Juga: Jet China hilir mudik, Taiwan: Latihan militer China adalah ancaman bagi kawasan

Lina, seorang siswa kelas 11 di Kamboja yang bercita-cita mendapatkan gelar akuntansi, termasuk di antara mereka. Orang tuanya ingin dia meninggalkan sekolah dan mencari pekerjaan untuk membantu membayar utang keluarga.

Hal ini diperkirakan akan memperburuk defisit pendidikan bagi anak perempuan di negara-negara miskin. Padahal angka partisipasi sekolah menengah perempuan terbilang rendah sejak sebelum pandemi. Ini akan menjadi kemunduran pendidikan anak perempuan dan kesetaraan gender di beberapa negara termiskin di dunia.

Organisasi nonprofit Room to Read melakukan survei terhadap 28.000 anak perempuan di Bangladesh, Kamboja, India, Laos, Nepal, Sri Lanka, Tanzania, dan Vietnam. Hasilnya, 42% melaporkan mengalami penurunan pendapatan keluarga selama pandemi. Lebih lanjut, satu dari dua anak perempuan yang disurvei berisiko putus sekolah.

"Ketika keluarga tidak mampu membiayai sekolah dan harus memilih, mereka akan sering mengirim anak laki-laki. Kesulitan keuangan dan stereotip budaya tentang peran gender memainkan peran utama dalam menahan anak perempuan di negara berkembang untuk menyelesaikan pendidikan mereka,” kata John Wood, pendiri Room to Read.

Baca Juga: ​4 Fakta tentang wajib militer di Korea Selatan

Kendati demikian, keseluruhan cakupan masalah masih belum jelas. Lantaran banyak sekolah tetap tutup untuk sekolah yang melangsungkan kelas tatap muka sebelum pandemi. Kelompok yang mempromosikan pendidikan anak perempuan termasuk Bank Dunia dan UNICEF terus memantau situasi ini di seluruh dunia.

“Lebih banyak keluarga yang kurang beruntung akan mengalami perjuangan khusus karena dampak ekonomi. Ini akan mempersulit mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Salah satu pelajaran dari pandemi ini adalah pentingnya peran keluarga dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka,” tutur Toby Linden, manajer praktik pendidikan Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik.

Wabah Ebola 2014 di Afrika Barat menunjukkan betapa hancurnya pendapatan bagi pendidikan anak perempuan. Keluarga yang lebih miskin membutuhkan anak-anak mereka untuk menghasilkan uang selama krisis, dan anak-anak yang mendapatkan pekerjaan jarang didorong untuk kembali ke sekolah ketika sudah dibuka kembali.

Defisit pendidikan perempuan adalah salah satu faktor kunci yang menghambat partisipasi angkatan kerja perempuan dan upah mereka. Satu tahun tambahan pendidikan sekolah menengah untuk anak perempuan dapat meningkatkan penghasilan mereka di masa depan sebanyak 20%.

Hambatan yang menghalangi anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan 12 tahun dan kesempatan belajar yang terbatas membuat negara kehilangan produktivitas dan pendapatan seumur hidup sebesar US$ 30 triliun.

“Tren yang mengkhawatirkan adalah pembukaan kembali sekolah, bukan berarti otomatis semua anak akan kembali ke sekolah. Pandemi memiliki dampak ekonomi yang tinggi bagi wilayah tersebut. Jika anak perempuan tidak memiliki akses ke kesempatan belajar, sangat mungkin keluarga dan masyarakat akan kurang mampu beradaptasi dengan guncangan ekonomi,” jelas Francisco Benavides, penasihat pendidikan regional di UNICEF Asia Timur dan Pasifik.

Baca Juga: Melihat kehidupan keturunan Jawa dan Muslim di Suriname

Mendidik anak perempuan juga terbukti mengarah pada kesetaraan gender yang lebih besar. Misalnya, di Thailand, wanita memegang 32% peran manajemen senior, dibandingkan dengan rata-rata 27% secara global, menurut data Grant Thornton yang diterbitkan pada tahun 2020.

Mereka membentuk 24% kepala eksekutif dan 43% kepala keuangan. Meskipun Thailand adalah pencilan, ini menunjukkan apa yang bisa dicapai ketika perempuan dididik.

Lanjut Benavides, meskipun negara-negara lain di kawasan ini juga telah membuat kemajuan dalam pendidikan anak perempuan dalam beberapa dekade terakhir, virus tersebut membuat kawasan itu "akan mundur beberapa tahun.

“Kami akan kehilangan kemajuan. Efek spillover akan sangat besar karena mungkin juga berdampak pada generasi setelah ini. Perlu waktu bertahun-tahun bagi kami untuk kembali ke tempat kami sebelumnya. Ini tidak akan membantu ekonomi Asia,” pungkas Benavides.

Selanjutnya: Trump mendukung kesepakatan untuk mengizinkan TikTok beroperasi di Amerika Serikat




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×