Sumber: Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Pertemuan menteri luar negeri dan pertahanan dari AS dan Jepang pada Jumat (7/1) melahirkan pandangan yang sama. Keduanya merasa perlu menyusun kolaborasi pertahanan baru demi mengimbangi aktivitas China di kawasan.
"Kami meluncurkan perjanjian penelitian dan pengembangan baru yang akan memudahkan para ilmuwan kami untuk berkolaborasi dalam isu-isu terkait pertahanan yang muncul," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters.
"Mulai dari melawan ancaman hipersonik hingga memajukan kemampuan berbasis ruang angkasa," ungkapnya.
Kedua negara sahabat ini juga akan menandatangani perjanjian lima tahun baru yang mencakup kelanjutan pangkalan pasukan AS di Jepang. Dalam kesepakatan ini Jepang setuju untuk membayar US$ 9,3 miliar guna berbagi pemeliharaan pasukan AS di Jepang selama lima tahun.
Baca Juga: Pakta Pertahanan Baru Jepang-Australia Resmi Disahkan, Ini Isinya
Blinken mengatakan, aliansi AS-Jepang tidak hanya harus memperkuat alat, tetapi juga harus melahirkan alat yang baru demi bisa mengimbangi kekuatan negara rival.
Dalam hal ini, Blinken menyoroti penumpukan militer Rusia di perbatasan dengan Ukraina, uji coba rudal hipersonik Korea Utara pada Rabu (5/1), serta aksi provokatif China terhadap Taiwan.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan, pertemuan kedua pihak akan melahirkan kerangka kerja untuk masa depan aliansi pertahanan Jepang dan AS.
"Misi ini akan berkembang dan mencerminkan kemampuan Jepang yang berkembang untuk berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas regional," kata Austin.
Baca Juga: Korea Utara Mengkonfirmasi Peluncuran Rudal Hipersonik Kedua
Di saat para tetangganya sibuk dengan rudal hipersonik, Jepang justru sedang bersiap mengerjakan teknologi "railgun" elektromagnetik untuk mencegat rudal tersebut.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida bulan lalu sudah mengesahkan anggaran pertahanan tahun 2022, yang di dalamnya mencakup pengembangan teknologi tersebut.
Pada pertemuan Jumat, Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi menyatakan, masyarakat internasional saat ini menghadapi banyak tantangan, termasuk upaya korosif sepihak untuk mengubah status quo, penggunaan tekanan yang tidak adil dan meluasnya rezim otoriter.
Pejabat pertahanan Jepang pada umumnya merasa bahwa penguatan kemampuan serangan adalah cara terbaik untuk meningkatkan kemampuan pertahanan.
Di sisi lain, langkah ini kemungkinan besar akan dihambat oleh kuatnya paham pasifisme di Jepang yang berkembang sejak berakhirnya Perang Dunia II.