Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
Pekan ini, selisih imbal hasil antara China dan AS mencapai level tertingginya dalam 16 tahun. Hal ini karena investor berspekulasi bahwa PBOC akan melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut pasca penurunan suku bunga yang dilakukan baru-baru ini, walaupun hal ini berpotensi memberikan tekanan lebih besar pada yuan.
Beberapa pengamat pasar mengatakan bahwa dalam beberapa minggu terakhir, otoritas China telah berupaya memperlambat penurunan yuan. PBOC dengan konsisten menetapkan nilai tukar yang lebih kuat dari perkiraan dan bank-bank negara berulang kali menjual dolar.
Taktik serupa diterapkan pada September 2022, ketika PBOC meminta bank-bank besar negara untuk siap menjual dolar demi yuan di pasar luar negeri guna mengatasi penurunan yuan.
Baca Juga: Ini Tanda-Tanda Ekonomi China Tengah Mengalami Krisis
Pada Juli, bank sentral melakukan penyesuaian untuk memungkinkan perusahaan mendapatkan lebih banyak pinjaman dari luar negeri, agar mereka dapat mengonversi mata uang asing ke dalam negeri untuk mendukung yuan. Namun, suku bunga pinjaman luar negeri yang lebih tinggi menjadi penghalang untuk melakukan pinjaman, sehingga mengurangi dampak dari perubahan kebijakan tersebut.
Salah satu langkah yang tampak berhasil adalah dengan bank-bank negara menawarkan pinjaman yuan yang lebih sedikit di pasar lepas pantai Hong Kong. Ketatnya likuiditas di Hong Kong telah membantu membatasi penurunan yuan minggu ini, sebagaimana diungkapkan oleh para pedagang.
Biaya pinjaman semalam yuan di Hong Kong meningkat hingga level tertinggi sejak April 2022 pada hari Rabu, dengan CNH Hong Kong Interbank Offered Rate (CNH HIBOR) mengalami kenaikan.
Seorang bankir mencatat bahwa tekanan likuiditas tidak dilakukan dengan terlalu agresif. Membersihkan likuiditas yuan dari pasar secara berlebihan dapat memberikan dampak negatif pada sentimen pasar obligasi.