Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - SYDNEY. Reserve Bank of Australia (RBA) secara resmi memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,85%—level terendah dalam dua tahun terakhir. Keputusan ini diumumkan usai rapat kebijakan dua hari yang digelar pada Selasa, seiring meningkatnya tekanan eksternal akibat perlambatan global dan meredanya inflasi domestik.
Mata uang dolar Australia langsung melemah 0,4% ke level US$ 0,6430, sementara imbal hasil obligasi tiga tahun naik 5 poin menjadi 96,40. Pasar swap kini memproyeksikan pelonggaran total sebesar 57 basis poin hingga akhir tahun 2025.
Inflasi Menurun, Tapi RBA Tetap Waspada
Dalam pernyataan resminya, RBA menyatakan bahwa risiko kenaikan inflasi kini telah berkurang, seiring dengan tekanan global yang diprediksi akan membebani pertumbuhan ekonomi domestik.
Baca Juga: RI Lobi Australia Tambah Impor Lithium untuk Produksi Baterai, Ekonom Wanti-Wanti Ini
Inflasi konsumen utama tercatat stabil di angka 2,4% pada kuartal pertama, sementara ukuran inti inflasi (trimmed mean) turun menjadi 2,9%, kembali ke dalam target bank sentral yaitu 2–3% untuk pertama kalinya sejak akhir 2021.
"Langkah ini membuat kebijakan moneter menjadi sedikit kurang restriktif," tulis dewan RBA. "Namun, kami tetap berhati-hati terhadap prospek ekonomi ke depan."
Sean Langcake, Kepala Peramalan Makroekonomi di Oxford Economics Australia, menilai bahwa meskipun suku bunga telah turun, kondisi moneter masih tergolong agak ketat. Ia memperkirakan dua kali pemangkasan tambahan akan terjadi pada paruh kedua tahun ini.
Tantangan Ekonomi Global: Efek Domino dari Tarif Impor Amerika Serikat
Sejak pertemuan RBA terakhir pada bulan April, lanskap ekonomi global telah berubah drastis. Perang dagang yang dipicu Presiden AS Donald Trump menyebabkan gejolak pasar finansial dan mengacaukan rencana bisnis global. Tarif impor sebesar 10% diberlakukan secara menyeluruh, termasuk pada mitra dagang besar seperti Tiongkok.
Meski AS dan Tiongkok akhirnya sepakat memangkas tarif dalam kesepakatan 90 hari, ketidakpastian masih membayangi. Sebagai eksportir utama komoditas ke Tiongkok, Australia terancam mengalami dampak serius apabila permintaan terhadap sumber daya—seperti bijih besi—menurun akibat perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu.
Data Ekonomi Domestik Masih Campuran
Meskipun sektor tenaga kerja tetap kuat—dengan tingkat pengangguran tetap di angka 4,1% selama lebih dari satu tahun—rebound yang diharapkan dari konsumsi rumah tangga masih belum terlihat signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa tekanan biaya hidup masih membatasi pengeluaran masyarakat.
Pertumbuhan upah meningkat pada kuartal pertama, namun lebih disebabkan oleh kenaikan gaji sektor publik yang tidak berpotensi menciptakan spiral harga-upah berbahaya.
Baca Juga: Australia Dukung Indonesia Jadi Anggota OECD dan CPTPP
Dalam pernyataan triwulanan mengenai Kebijakan Moneter, RBA mengindikasikan bahwa inflasi kemungkinan akan lebih rendah, dan tingkat pengangguran lebih tinggi, dari proyeksi sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh dampak berantai dari ketegangan perdagangan global, bahkan dengan asumsi bahwa pelonggaran moneter dilakukan sesuai ekspektasi pasar.
Prospek Ekonomi: Momentum atau Risiko?
Prospek pemangkasan suku bunga lanjutan tetap terbuka, tergantung bagaimana data ekonomi berkembang. Meski inflasi kini berada dalam kisaran target, RBA tetap khawatir terhadap hambatan struktural seperti rendahnya produktivitas dan pasar tenaga kerja yang masih ketat.
Dengan perekonomian global yang sedang mengalami gangguan dan pertumbuhan domestik yang belum solid, RBA tengah berjalan di jalur yang hati-hati: melonggarkan kebijakan cukup untuk mendukung pertumbuhan, namun tidak terlalu longgar hingga memicu ketidakseimbangan baru.