Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Kementerian Luar Negeri China merespons ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait ancaman kenaikan tarif. China mengatakan akan merespons dengan tegas jika AS bersikeras meningkatkan ketegangan perdagangan.
Mengutip Reuters, Selasa (11/6), Trump telah berulang kali mengatakan bahwa ia tengah mempersiapkan diri bertetemu dengan Presiden China Xi Jinping pada KTT G20 di Osaka, Jepang pada akhir Juni ini. Meski sampai saat ini, China belum mengonfirmasi pertemuan tersebut.
Trump mengatakan, ia akan segera mengambil keputusan setelah pertemuan para pemimpin ekonomi terbesar dunia tersebut, apakah akan menerapkan ancamannya menerapkan tarif terhadap produk-produk China senilai US$ 300 miliar atau tidak.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang tidak lagi tertarik untuk mengonfirmasi pertemuan Xi dan Trump di G20. Ia mengatakan, informasi soal itu akan dirilis setelah ada di kementerian.
Geng menegaskan, Tiongkok tidak ingin berperang, tetapi tidak juga takut berperang. Seraya Geng menambahkan, bahwa pintu China terbuka untuk pembicaraan perdagangan berdasarkan kesetaraan.
"Namun jika Amerika Serikat hanya ingin meningkatkan friksi perdagangan, kami akan dengan tegas menanggapi dan berjuang sampai akhir," tandasnya.
Ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing meningkat tajam pada Mei lalu pasca administrasi Trump menuduh China telah mengingkari perjanjian untuk membuat perubahan struktur ekonomi selama berbulan-bulan pembicaraan dagang.
Kemudian pada 10 Mei Trump menaikkan tarif barang-barang China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% dari sebelumnya 10%. Bahkan Trump kembali mengancam akan memungut bea tambahan untuk produk impor dari China senilai US$ 300 miliar.
Terkait hal ini, Beijing merespons dengan kenaikan tarif pada impor barang-barang AS senilai US$ 60 miliar.
Pemerintah AS juga membuat China marah setelah memasukkan Huawei Technologies Co Ltd ke dalam daftar hitam yang secara efektif melarang perusahaan-perusahaan AS melakukan bisnis dengan perusahaan China, pembuat peralatan teknologi terbesar di dunia tersebut.
Sejumlah investor khawatir, China akan membalas dengan menempatkan perusahaan-perusahaan AS dalam daftar hitam atau melarang ekspor logam-logam tanah jarang ke AS yang digunakan dalam produk-produk seperti chip memori, baterai isi ulang dan ponsel.