kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekspor negara-negara Asia terpukul perang dagang Amerika Serikat-China


Senin, 29 Juli 2019 / 18:48 WIB
Ekspor negara-negara Asia terpukul perang dagang Amerika Serikat-China


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara Amerika serikat dan Tiongkok tak cuma berimbas kepada dua negara tersebut. Sejumlah negara ekonomi utama di Asia seperti Jepang, India, Korea Selatan, dan negara-negara Asia Tenggara juga ikut terpukul. Hal tersebut ditandai dari anjloknya kinerja ekspor mereka di setengah musim 2019.

Goldman Sachs Inc mencatat beberapa negara macam Taiwan, Vietnam, dan India pun telah membatalkan beberapa pengirimannya ke Tiongkok.

Baca Juga: Korea Selatan-Jepang memanas, Korean Air tangguhkan penerbangan dari Busan ke Sapporo

Dalam sebuah paparannya Tim Ekonom Goldman Sachs yang dipimpin Andrew Tilton menyatakan ekspor barang-barang teknologi dari negara-negara Asia ke Tiongkok akan menjadi industri utama yang terimbas.

Rebound atas siklus perdagangan di Asia pun sepertinya sudah terlambat. Kemerosotan ekspor negara-negara Asia ini diperkirakan akan terjadi lebih lama dibandingkan siklus yang terjadi sebelumnya,” tulis laporan Goldman Sachs.

Dalam laporannya, Goldman Sachs juga menyatakan bahwa beberapa upaya seperti negosiasi ulang antara Amerika Serikat dan Tionkok, maupun prediksi The Fed memangkas suku bunga dalam minggu ini tak akan berdampak banyak terhadap perlambatan ekspor Asia.

Yang jelas peningkatan tarif akan membebani ekspor negara-negara Asia.

Baca Juga: Konsolidasi, Takeaway.com sepakat membeli Just Eat seharga US$ 10,1 miliar

“Kemerosotan ekspor negara-negara Asia merupakan hasil dari siklus perlambatan permintaan global dan peningkatan tarif atas perang dagang Amerika dan Tiongkok. Peningkatan 25% tarif atas setiap US$ 200 miliar ekspor Tiongkok ke Amerika tak cuma membebani ekspor Tiongkok, malinkan juga kinerja impornya, mengingat Tiongkok merupakan rekan dagang terbesar negara-negara Asia,” kata Analis CMC Market Margaret Yang kepada Nikkei Asian Review.

PDB Tiongkok pada kuartal 2/2019 sendiri telah menyentuh rekor terendahnya selama tiga dekade sebesar 6,2%. Sedangkan pada Juni pertumbuhan ekspor negeri tirai bambu ini juga anjlok 1,3%.

Padahal pada Mei kinerja ekspor Tiongkok masih mencatat pertumbuhan 1,1%. Dari segi impor peningkatan tarif sendiri berpengaruh terhadap penurunan pertumbuhan 15% hingga 20%.

Prediksi penurunan impor Tiongkok kemudian ikut mengakibatkan kinerja ekspor negara-negara Asia. Singapura misalnya, pada Juni ekspor di bidang industri semikonduktornya anjlok 33% (yoy). Pun ekspor non Migas Singapura menurun 17%.

Baca Juga: China sebut meski sudah impor jutaan ton kedelai, tapi belum masuk ke data AS

Jepang juga mengalami hal serupa, ekspornya pada Juni merosot 7%, menambah rekor penurunan ekspor negara sakura ini selama tujuh bulan berturut-turut.

Sedangkan ekspor Jepang ke Tiongkok turun lebih dalam sebesar 10%. Industri semikonduktor juga menjadi industri yang terpukul telak atas menurunnya ekspor Jepang ke Tiongkok.

Kemudian Thailand, negara penghubung perakitan mobil dan elektronik ini juga mencatat penurunan ekspor ke Tiongkok sebesar 15% (yoy) pada Juni. Lebih besar dibandingkan penurunan yang terjadi bulan sebelumnya 7%. Sedangkan secara total ekspor Thailand juga anjlok 2%.

Baca Juga: Jepang masih keras kepala, berpotensi hapus Korea Selatan dari daftar putih

Direktur Jenderal Kantor Strategi dan Kebijakan dan Perdagangan Thailand Pimchanok Vonkorpon menyatakan dampak perang dagang terhadap kinerja ekspor negaranya ini masih akan terjadi hingga kuartal 3/2019.

Meski demikian beberaapa negara di Asia Tenggara macam Vietnam justru mencatat kinerja yang baik. Pada Juni ekspor Vietnam tumbuh 8%, ini akibat eksodus perusahaan Tingkok ke Vietnam untuk menghindari kenaikan tarif tersebut.

Sayangnya, hal ini diprediksi tak akan berlangsung lama sebab, Harian South China Morning Post melaporkan, perusahaan yang telah memindahkan lini produksinya ke Asia Tenggara tengah bersiap kembali akibat biaya produksi yang tinggi dan minimnya pekerja ahli.




TERBARU

[X]
×