Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Pejabat tinggi pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara tidak sengaja membocorkan rencana serangan militer terhadap kelompok Houthi yang didukung Iran di Yaman dalam sebuah grup pesan terenkripsi yang mencakup seorang jurnalis.
Insiden ini dikonfirmasi Gedung Putih pada Senin (22/3) setelah laporan eksklusif dari The Atlantic mencuat ke publik.
Pelanggaran Keamanan Nasional yang Disorot Demokrat
Kelompok Demokrat dengan cepat mengecam kebocoran informasi ini, menyebutnya sebagai pelanggaran serius terhadap keamanan nasional dan menuntut investigasi oleh Kongres.
Editor-in-chief The Atlantic, Jeffrey Goldberg, mengungkap bahwa dirinya secara tak terduga diundang ke dalam grup pesan terenkripsi Signal yang diberi nama "Houthi PC small group" pada 13 Maret.
Baca Juga: Trump Bikin Geger Lagi! Terapkan Tarif 25% bagi Negara Pembeli Minyak dari Venezuela
Dalam grup tersebut, Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz memerintahkan wakilnya, Alex Wong, untuk membentuk tim khusus guna mengoordinasikan aksi militer AS terhadap Houthi.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional (NSC) Brian Hughes menyatakan bahwa grup pesan tersebut tampak autentik. Pada 15 Maret, Presiden Trump meluncurkan serangan udara besar-besaran ke posisi Houthi di Yaman sebagai tanggapan atas serangan kelompok tersebut terhadap kapal-kapal di Laut Merah.
Namun, beberapa jam sebelum serangan dimulai, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth membagikan detail operasi, termasuk target, senjata yang akan digunakan, dan urutan serangan. Laporan The Atlantic mengklaim bahwa ini adalah tindakan yang "sangat ceroboh."
Dalam pesan-pesan yang bocor, Wakil Presiden JD Vance tampak mempertanyakan apakah AS seharusnya membantu sekutu Eropa yang lebih terdampak oleh gangguan perkapalan di wilayah tersebut.
Baca Juga: Efek Kebijakan Trump, Wisatawan Eropa Ramai-Ramai Batalkan Liburan ke AS!
Respon Pemerintahan Trump dan Potensi Pelanggaran Hukum
Trump mengaku tidak mengetahui kejadian ini. "Saya tidak tahu apa pun tentang itu. Saya bukan penggemar The Atlantic," ujarnya kepada wartawan di Gedung Putih.
Sementara itu, Gedung Putih telah memulai investigasi terkait insiden ini. Hughes menegaskan bahwa kebocoran tersebut tidak mengancam keselamatan personel militer AS atau keamanan nasional.
Di sisi lain, Menteri Pertahanan Hegseth membantah membocorkan rencana perang. "Tidak ada yang mengirim pesan berisi rencana perang, dan itu saja yang perlu saya katakan," ujarnya kepada wartawan di Hawaii pada Senin.
Namun, Goldberg menanggapi bantahan tersebut dalam wawancara di CNN, dengan menegaskan, "Tidak, itu bohong. Dia memang mengirim pesan yang berisi rencana perang."
Para analis keamanan mengatakan bahwa penggunaan Signal dalam komunikasi resmi yang melibatkan informasi sensitif bisa menjadi pelanggaran hukum federal terkait penyimpanan catatan negara.
Senator Demokrat Elizabeth Warren menilai penggunaan Signal untuk membahas masalah keamanan nasional adalah "ilegal dan sangat berbahaya." Sementara itu, Senator Chris Coons menyebut bahwa setiap pejabat yang terlibat dalam grup pesan ini telah melakukan pelanggaran hukum yang "biasanya berujung pada hukuman penjara."
Baca Juga: Donald Trump ‘Mengamuk’! Perang Dagang AS Kian Memanas
Dampak Diplomatik dan Investigasi Kongres
Pemerintah negara-negara yang disebut dalam bocoran pesan tersebut, termasuk Iran dan Uni Eropa, belum memberikan tanggapan resmi.
Senator Demokrat Chuck Schumer menyatakan bahwa ini adalah "salah satu kebocoran intelijen militer paling mencengangkan dalam beberapa dekade terakhir." Senator John Thune dari Partai Republik juga menegaskan bahwa investigasi akan segera dilakukan untuk mengungkap kronologi insiden ini.
Meskipun skandal ini mengguncang pemerintahan Trump, Gedung Putih memastikan tidak ada perubahan dalam struktur staf keamanan nasional. "Presiden Trump tetap percaya penuh pada tim keamanan nasionalnya, termasuk Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz," kata juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt.
Dengan semakin meningkatnya tekanan dari anggota Kongres dan komunitas keamanan nasional, kebocoran informasi ini berpotensi menjadi skandal besar bagi pemerintahan Trump dalam pengelolaan strategi militernya di Timur Tengah.