Sumber: NHK | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Survei terbaru di Jepang menunjukkan bahwa hampir tiga perempat atau 75% anak-anak di seluruh negeri mengalami tanda-tanda stres selama wabah virus corona menyerang. Pemerintah juga mulai mengkhawatirkan tentang diskriminasi dan intimidasi yang berasal dari pandemi.
Pusat Nasional Kesehatan dan Perkembangan Anak Jepang mengadakan survei online selama bulan Juni dan Juli untuk mengukur dampak wabah virus corona pada anak. Dikutip dari NHK, ada hampir 7.000 anak yang menjadi responden dalam survei ini. Semuanya berusia antara 7 hingga 17 tahun.
Survei menemukan 72% anak menunjukkan gejala stres mental. Anak-anak tersebut mengatakan bahwa memikirkan wabah virus corona membuat mereka merasa tidak nyaman sehingga memengaruhi konsentrasi mereka.
Baca Juga: Chearavanont Brothers, pengusaha pakan ternak orang terkaya di Thailand
Para responden juga mendapat pertanyaan mengenai bagaimana mereka akan bereaksi jika mereka atau keluarga mereka terinfeksi virus corona. Cukup mengejutkan, sepertiga dari anak-anak mengatakan bahwa mereka akan merahasiakannya.
Ketika ditanya mengenai perasaan mereka terhadap teman sebaya yang telah pulih dari Covid-19, 22% anak mengatakan mereka tidak ingin bermain dengan mereka. Para peneliti yang mengadakan survei ini mengatakan bahwa hal ini bisa menyebabkan diskriminasi atau intimidasi terhadap mereka yang telah terinfeksi. Para peneliti juga memperingatkan bahwa anak-anak saat ini khawatir karena liburan musim panas telah berakhir dan tidak bisa berbuat banyak.
Tekanan baru muncul di fase "New Normal"
Baca Juga: Pendidikan bahasa Korea jadi senjata baru Korea Selatan untuk perluas Hallyu
Dokter Hangai Mayumi, yang melakukan survei tersebut, mengatakan anak-anak berada di bawah tekanan baru dalam fase "new normal" karena mulai banyak sekolah yang dibuka kembali.
Mayumi mengatakan bahwa diskriminasi bisa menjadi senjata anak-anak untuk melindungi diri dari ancaman virus, hal ini justru akan menimbulkan masalah sosial baru.
Dia menyarankan kepada para orang tua untuk lebih memperhatikan pandangan anak-anak mereka terhadap para pasien yang telah sembuh dan mendorong untuk memberikan pemahaman yang rasional.
NHK melaporkan jika sudah ada beberapa kasus perundungan kepada para pasien yang telah sembuh. Sebanyak delapan kasus telah terjadi di Prefektur Niigata. Ironisnya, sebagian besar korban adalah anak-anak yang orang tuanya adalah pekerja medis. Beberapa anak yang mengalami perundungan mengaku dipanggil dengan sebutan "corona".
Baca Juga: Fakta menarik, separuh warga Jepang justru merasa lebih sehat sejak pandemi
Di Prefektur Nara, beberapa siswa ditolak masuk ke program pelatihan lisensi guru karena berasal dari universitas yang menjadi cluster virus. Laporan lain yang diterima NHK datang dari Prefektur Saitama. Di sana ada seorang ibu yang mengeluh karena anaknya terkadang tidak mau pergi ke sekolah karena takut dengan virus corona.
Sejak sekolah kembali dibuka bulan Juli lalu, anaknya selalu merasa stress, ketakutan, dan kerap menangis saat diminta untuk kembali bersekolah. Pemerintah Jepang melalui Kementerian Pendidikan dengan cepat merespons masalah sosial baru ini. Pada tanggal 25 Agustus lalu mereka merilis anjuran nasional yangbertujuan untuk mengatasi beberapa masalah pelecehan dan diskriminasi yang muncul di sekolah.
Beberapa isinya meliputi dorongan kepada para siswa untuk berbelas kasih terdahap mereka yang telah terinfeksi. Pemerintah juga meminta para guru untuk menjelaskan dengan jelas mengenai segala hal tentang virus corona.