Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Harga minyak menguat hampir 1% dan mencapai level tertinggi dalam dua pekan pada Jumat (5/12/2025).
Didorong ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pekan depan, langkah yang dinilai dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi serta meningkatnya ketidakpastian geopolitik yang berpotensi mengganggu pasokan dari Rusia dan Venezuela.
Melansir Reuters, Kontrak minyak mentah Brent naik 49 sen, atau 0.8%, menjadi US$63,75 per barel.
Sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat 41 sen, atau 0,7%, menjadi US$60,08 per barel. Keduanya mencatat penutupan tertinggi sejak 18 November.
Baca Juga: Di Undian Piala Dunia 2026, Pemenangnya Adalah… Donald Trump
Secara mingguan, Brent naik sekitar 1% dan WTI meningkat sekitar 3%, menandai reli dua minggu beruntun.
Investor mencerna laporan inflasi AS dan menyesuaikan kembali ekspektasi mereka terkait potensi pemotongan suku bunga oleh The Fed dalam pertemuan 9–10 Desember.
Belanja konsumen AS naik moderat pada September setelah tiga bulan pertumbuhan solid, menunjukkan melambatnya momentum ekonomi pada akhir kuartal III akibat pasar tenaga kerja yang lesu dan biaya hidup yang meningkat.
Menurut CME FedWatch Tool, pelaku pasar memperkirakan peluang sebesar 87% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pekan depan.
Di saat yang sama, pejabat tinggi AS dan China mengadakan pembicaraan terkait perjanjian dagang yang bertujuan meredakan ketegangan antara kedua negara.
Dalam berita perdagangan lainnya, Presiden AS Donald Trump mengatakan akan bertemu dengan para pemimpin Meksiko dan Kanada untuk membahas isu perdagangan usai menghadiri undian Piala Dunia 2026 di Washington.
Setiap langkah yang dapat menurunkan ketegangan dagang AS dengan negara lain berpotensi mendukung pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi.
Baca Juga: Netflix Akuisisi Warner Bros US$72 Miliar, Siap Ubah Wajah Hollywood
Fokus Investor Beralih ke Pasokan Rusia dan Venezuela
Investor juga memantau perkembangan dari Rusia dan Venezuela untuk menilai apakah pasokan dua anggota OPEC+ yang terkena sanksi tersebut akan bertambah atau justru menyusut.
Kegagalan pembicaraan AS–Rusia di Moskow untuk menghasilkan terobosan mengenai perang Ukraina menjadi salah satu faktor yang mendukung kenaikan harga minyak pekan ini.
“Ketiadaan kemajuan dalam pembicaraan damai Ukraina menciptakan latar belakang yang bullish, namun di sisi lain, produksi OPEC yang tetap kuat menjadi penahan tekanan bearish. Dua kekuatan yang berlawanan ini membuat perdagangan relatif tenang,” kata Tamas Vargas, analis pasar minyak di PVM.
Negara-negara G7 dan Uni Eropa dikabarkan sedang membahas penggantian mekanisme pembatasan harga minyak Rusia dengan larangan penuh layanan maritim, sebagai upaya menekan pendapatan minyak yang digunakan Moskow untuk membiayai perang di Ukraina.
Baca Juga: Karier Mohamed Salah di Liverpool Berpotensi Berakhir Lebih Cepat
OPEC+ mencakup negara-negara anggota OPEC dan sekutunya seperti Rusia. Setiap kesepakatan yang berpotensi melonggarkan sanksi terhadap Rusia, produsen minyak terbesar kedua dunia setelah AS dapat meningkatkan pasokan global.
Sementara itu, dalam kunjungan pertamanya ke New Delhi sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, Presiden Vladimir Putin menawarkan pasokan energi tanpa hambatan kepada India. Meski berhati-hati, India dan Rusia sepakat memperluas kerja sama perdagangan dan pertahanan.
Sumber dagang menyebutkan bahwa Indian Oil Corp dan Bharat Petroleum Corp telah memesan minyak Rusia untuk pengiriman Januari dari pemasok yang tidak terkena sanksi, menyusul melebarnya diskon harga.
Di Rusia, serangan drone Ukraina memicu kebakaran di Pelabuhan Temryuk di Laut Azov, fasilitas yang menangani LPG, produk minyak, petrokimia, hingga komoditas pangan.
Pasar juga mewaspadai potensi operasi militer AS di Venezuela setelah Trump kembali menegaskan bahwa AS akan segera mengambil tindakan terhadap jaringan narkotika Venezuela.
Menurut Rystad Energy, langkah tersebut dapat mengancam 1,1 juta barel per hari produksi minyak Venezuela, yang sebagian besar diekspor ke China.













