Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengatakan bahwa inflasi harga barang-barang akan meningkat sepanjang musim panas ini, seiring tarif impor Presiden Donald Trump mulai berdampak pada konsumen AS.
“Pada akhirnya, biaya tarif harus dibayar, dan sebagian akan dibebankan ke konsumen akhir,” kata Powell dalam konferensi pers pada Rabu (18/6) setelah The Fed kembali mempertahankan suku bunga acuannya.
Baca Juga: China Evakuasi Warganya dari Israel ke Mesir Mulai Jumat, Imbas Konflik dengan Iran
“Kita tahu itu karena perusahaan-perusahaan yang bilang begitu. Dan data masa lalu juga menunjukkan hal yang sama.”
Pernyataan Powell itu bertolak belakang dengan klaim pejabat pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan AS Scott Bessent, yang mengatakan bahwa tarif tinggi seperti 25% pada baja dan aluminium serta lebih dari 50% pada banyak produk China tidak akan diteruskan ke konsumen.
Mereka berargumen bahwa beberapa perusahaan memilih untuk tidak menaikkan harga dan produsen asing akan menanggung beban tersebut.
Namun, data menunjukkan dampaknya sudah terasa. Penerimaan bea masuk AS melonjak menjadi rekor US$ 23 miliar pada Mei 2025, hampir empat kali lipat dari Mei 2024 yang hanya US$ 6 miliar.
Baca Juga: Putin Ogah Bahas Kemungkinan AS-Israel Membunuh Pemimpin Tertinggi Iran
Dampak Tarif Pengaruhi Kebijakan Suku Bunga
Powell menegaskan bahwa tekanan inflasi dari tarif akan mempengaruhi waktu dan kecepatan pemangkasan suku bunga acuan.
Pada pertemuan FOMC, The Fed memproyeksikan akan ada dua kali pemangkasan suku bunga masing-masing sebesar 25 basis poin di 2025, namun memperlambat laju pelonggaran di tahun-tahun berikutnya karena tekanan harga yang meningkat akibat tarif.
“Kami melihat inflasi barang mulai naik sedikit,” ujarnya.
“Dan kami memang memperkirakan tren ini akan berlanjut selama musim panas.”
Ia menjelaskan bahwa butuh waktu bagi tarif barang untuk masuk ke rantai distribusi, karena banyak barang yang dijual saat ini adalah hasil impor dari sebelum tarif diberlakukan.
Ketika stok tersebut habis, mereka akan digantikan barang baru yang telah dikenai tarif.
“Kita mulai melihat dampaknya sekarang, dan kemungkinan besar akan lebih terasa dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Powell.
“Kami juga mencatat kenaikan harga di kategori tertentu, seperti komputer pribadi dan peralatan audiovisual, yang terkait langsung dengan tarif.”
Baca Juga: Iran dan Israel Saling Serang Lewat Udara, Trump Masih Bungkam soal Keterlibatan AS
Klaim Pemerintah vs Proyeksi The Fed
Sementara itu, dalam wawancara dengan podcast Pod Force One, Scott Bessent menyebut bahwa kenaikan harga konsumen dan produsen hanya sebesar 0,1 persen pada bulan lalu, dan menyebut angka tersebut sebagai yang “terbaik sejak 2020”.
“Semua prediksi kenaikan inflasi itu tidak berdasar,” ujarnya. Ia juga menyoroti kenaikan upah pekerja per jam sebagai indikator bahwa ekonomi tetap kuat.
Namun, Powell juga menambahkan bahwa ketidakpastian terkait tarif mulai mereda setelah Trump mundur dari ancaman tarif yang jauh lebih tinggi yang diumumkannya pada April, termasuk rencana tarif 145% atas barang-barang dari China.
“Saat itu kami memperkirakan tarif akan naik sangat tinggi, tapi belakangan estimasi tersebut diturunkan, meskipun masih tetap tinggi,” jelas Powell.
“Jadi kami terus menyesuaikan kebijakan kami secara real-time.”
Baca Juga: Dolar AS Menguat Tipis Kamis (19/6) Pagi, Waspadai Inflasi & Konflik Timur Tengah
Pembicaraan Dagang AS-China Kembali Digelar
Bessent mengatakan bahwa para pejabat AS kemungkinan akan kembali bertemu dengan mitra mereka dari China secara langsung dalam tiga pekan mendatang, menyusul kesepakatan informal di London pekan lalu untuk meredakan ketegangan tarif dan mengembalikan gencatan dagang ke jalurnya.
Ia tidak memberikan rincian lebih lanjut soal pertemuan tersebut, namun menekankan bahwa China perlu menyeimbangkan ulang ekonominya dan fokus lebih besar pada konsumsi domestik ketimbang mengandalkan ekspor.