Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga minyak mentah bergerak stabil pada perdagangan Rabu (12/11/2025).
Setelah menguat pada sesi sebelumnya di tengah ekspektasi bahwa berakhirnya penutupan terpanjang pemerintahan Amerika Serikat (AS) dapat mendorong permintaan di negara konsumen minyak terbesar dunia tersebut.
Mengutip Reuters, kontrak berjangka Brent turun tipis 8 sen atau 0,12% menjadi US$65,08 per barel pada pukul 01.06 GMT, setelah naik 1,7% pada perdagangan Selasa.
Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melemah 7 sen atau 0,11% ke level US$60,97 per barel, setelah menguat 1,5% di sesi sebelumnya.
Baca Juga: Protes Masyarakat Adat Warnai COP30 di Belem, Minta Tanah Bebas dari Korporasi
DPR AS yang dikuasai Partai Republik dijadwalkan menggelar pemungutan suara pada Rabu sore waktu setempat terkait rancangan undang-undang (RUU) yang sebelumnya telah disetujui Senat.
RUU tersebut bertujuan untuk memulihkan pendanaan bagi lembaga-lembaga pemerintah hingga 30 Januari mendatang.
“Pembukaan kembali pemerintahan AS berpotensi meningkatkan kepercayaan konsumen dan aktivitas ekonomi, yang pada gilirannya dapat mendorong permintaan minyak mentah,” tulis analis pasar IG, Tony Sycamore, dalam catatannya.
Berakhirnya shutdown pemerintahan AS yang telah mengganggu puluhan ribu penerbangan dalam beberapa hari terakhir juga diharapkan dapat memicu pemulihan sektor perjalanan dan konsumsi bahan bakar jet menjelang musim liburan.
Baca Juga: Harga Emas Menguat 4 Hari Selasa (12/11): Dolar AS Lesu & Harapan Suku Bunga The Fed
Dari sisi pasokan, pasar masih menimbang dampak dari sanksi Amerika Serikat terhadap dua produsen minyak terbesar Rusia, yakni Lukoil dan Rosneft, yang turut memberikan dukungan terhadap harga.
Reuters melaporkan, perusahaan kilang China Yanchang Petroleum kini mencari pasokan minyak non-Rusia dalam tender terbarunya.
Selain itu, anak usaha Sinopec, Luoyang Petrochemical, juga menutup sebagian fasilitasnya untuk perawatan akibat dampak tidak langsung dari sanksi tersebut.
Sanksi tersebut merupakan langkah langsung pertama yang dijatuhkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap sektor energi Rusia sejak dimulainya masa jabatan keduanya bulan lalu.













