kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.501.000   -95.000   -3,66%
  • USD/IDR 16.785   -20,00   -0,12%
  • IDX 8.647   2,68   0,03%
  • KOMPAS100 1.194   -2,61   -0,22%
  • LQ45 847   -5,47   -0,64%
  • ISSI 309   -0,04   -0,01%
  • IDX30 437   -2,15   -0,49%
  • IDXHIDIV20 510   -4,16   -0,81%
  • IDX80 133   -0,62   -0,47%
  • IDXV30 139   0,36   0,26%
  • IDXQ30 140   -0,77   -0,54%

Ilmuwan Ungkap, 2025 Masuk Tiga Besar Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah


Selasa, 30 Desember 2025 / 17:12 WIB
Ilmuwan Ungkap, 2025 Masuk Tiga Besar Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah
ILUSTRASI. Perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia menjadikan 2025 sebagai salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat,(dok./https://unsplash.com/taro ohtani)


Sumber: TheIndependent.co.uk | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia menjadikan 2025 sebagai salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah tercatat, menurut para ilmuwan.

Bahkan, untuk pertama kalinya, rata-rata suhu global selama tiga tahun terakhir melampaui ambang batas pemanasan 1,5 derajat Celsius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015.

Batas tersebut dirancang untuk menahan kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan era praindustri. Para ahli menilai, menjaga pemanasan global di bawah ambang itu sangat penting untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kerusakan lingkungan berskala besar di seluruh dunia.

Analisis terbaru dari para peneliti World Weather Attribution (WWA) yang dirilis Selasa waktu Eropa menegaskan bahwa dampak perubahan iklim semakin nyata. Laporan ini muncul setelah satu tahun penuh di mana masyarakat global menghadapi berbagai cuaca ekstrem berbahaya akibat pemanasan planet.

Suhu Tetap Tinggi Meski Ada La Niña

Menariknya, suhu global tetap berada di level tinggi meskipun dunia mengalami fenomena La Niña, yaitu pendinginan alami sesekali di Samudra Pasifik yang biasanya menurunkan suhu global. Para peneliti menilai kondisi ini menunjukkan kuatnya pengaruh aktivitas manusia terhadap iklim.

Baca Juga: Asia Tenggara Darurat Cuaca Ekstrem: Vietnam, Thailand, & Malaysia Dilanda Banjir

Pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara terus melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer, yang menjadi penyebab utama pemanasan global.

“Jika kita tidak menghentikan pembakaran bahan bakar fosil dengan sangat cepat, dalam waktu dekat, akan sangat sulit menjaga target pembatasan pemanasan global,” ujar Friederike Otto, salah satu pendiri World Weather Attribution dan ilmuwan iklim dari Imperial College London.

Cuaca Ekstrem Semakin Mematikan di 2025

Cuaca ekstrem setiap tahun menewaskan ribuan orang dan menyebabkan kerugian ekonomi hingga miliaran dolar.

Dalam laporannya, WWA mengidentifikasi 157 peristiwa cuaca ekstrem paling parah sepanjang 2025, yang memenuhi kriteria seperti menewaskan lebih dari 100 orang, berdampak pada lebih dari setengah populasi suatu wilayah, atau memicu status darurat.

Dari jumlah tersebut, 22 peristiwa dianalisis secara mendalam, termasuk gelombang panas ekstrem yang disebut sebagai bencana cuaca paling mematikan di dunia sepanjang 2025. WWA menyebut, beberapa gelombang panas tersebut menjadi 10 kali lebih mungkin terjadi dibandingkan satu dekade lalu akibat perubahan iklim.

“Gelombang panas yang kita saksikan tahun ini merupakan kejadian yang kini sudah umum, tetapi hampir mustahil terjadi tanpa perubahan iklim akibat ulah manusia,” kata Otto.

Selain itu, kekeringan berkepanjangan memicu kebakaran hutan hebat di Yunani dan Turki. Hujan deras dan banjir bandang di Meksiko menewaskan puluhan orang dan menyebabkan banyak lainnya hilang.

Super Topan Fung-wong menghantam Filipina dan memaksa lebih dari satu juta orang mengungsi. Sementara itu, hujan monsun menyebabkan banjir dan longsor parah di India.

Baca Juga: Badai Geomagnetik Tunda Peluncuran Satelit Cuaca Antariksa NASA ke Mars

Batas Kemampuan Adaptasi Makin Tertekan

Menurut WWA, frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem yang meningkat mengancam kemampuan jutaan orang untuk beradaptasi. Fenomena ini dikenal sebagai “batas adaptasi”, yakni kondisi ketika masyarakat tidak lagi memiliki cukup waktu, peringatan, dan sumber daya untuk merespons bencana.

Badai Melissa menjadi contoh nyata. Badai tersebut menguat dengan sangat cepat sehingga menyulitkan proses peringatan dini dan perencanaan. Dampaknya sangat parah di Jamaika, Kuba, dan Haiti, hingga negara-negara kepulauan kecil tersebut kewalahan menghadapi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.

Negosiasi Iklim Global Masih Mandek

Konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digelar di Brasil pada November lalu berakhir tanpa rencana tegas untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.

Meski terdapat tambahan komitmen pendanaan untuk membantu negara-negara beradaptasi terhadap perubahan iklim, realisasinya diperkirakan memerlukan waktu lama.

Sejumlah pejabat dan ilmuwan mengakui bahwa pemanasan global kemungkinan besar akan melampaui batas 1,5 derajat Celsius, meskipun sebagian pihak menilai pembalikan tren tersebut masih memungkinkan.

Namun, kemajuan antarnegara sangat bervariasi. China mempercepat pengembangan energi terbarukan seperti surya dan angin, tetapi tetap berinvestasi pada batu bara.

Di Eropa, cuaca ekstrem mendorong tuntutan aksi iklim, meski sebagian negara khawatir dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara di Amerika Serikat, pemerintahan Presiden Donald Trump justru mengarahkan kebijakan energi untuk mendukung batu bara, minyak, dan gas.

Baca Juga: Cuaca Ekstrem Pangkas Produksi Wine Global

“Kondisi geopolitik tahun ini sangat mendung, dengan banyak pembuat kebijakan yang lebih memprioritaskan kepentingan industri bahan bakar fosil dibandingkan keselamatan masyarakat,” ujar Otto.

Andrew Kruczkiewicz, peneliti senior di Columbia University Climate School, menambahkan bahwa berbagai wilayah kini menghadapi bencana yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Menurutnya, kejadian ekstrem semakin cepat, lebih kompleks, dan membutuhkan sistem peringatan dini serta pendekatan baru dalam respons dan pemulihan.

“Secara global, memang ada kemajuan,” katanya.

“Tetapi kita harus berbuat jauh lebih banyak.” tambahnya.

Selanjutnya: Memasuki Akhir Tahun, Begini Proyeksi Valas Asia Rabu (31/12/2025)

Menarik Dibaca: 5 Jenis Pajak yang Bisa Dibayar Online, Praktis untuk Kamu yang Malas Antri




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×