Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Ekonom di bank global, mulai dari Morgan Stanley hingga Nomura Holdings, memperkirakan India dan Thailand akan menjadi negara incaran tarif Donald Trump berikutnya. Ini sejalan dengan ambisi Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Trump yang ingin mengurangi perbedaan tarif.
Kedua negara Asia tersebut menonjol karena tarif yang keduanya kenakan pada AS secara rata-rata jauh lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan AS. Trump belum mengklarifikasi potensi tersebut.
Namun analis Nomura Sonal Varma menyebut, sejumlah negara berkembang di Asia mengenakan tarif tinggi pada ekspor AS. Dengan demikian risiko tarif timbal balik akan lebih tinggi.
Baca Juga: Tarif Trump Dorong Harga Emas ke Rekor Tertinggi, Selasa (11/2)
"Kami berharap negara di Asia akan memperkuat negosiasi dengan Trump sehingga bisa melindungi ekonomi," ujar Varma, seperti dikutip Bloomberg, kemarin.
Trump Jumat (7/2) lalu menegaskan akan memberi tarif sama dengan negara lain. Ancaman ini bisa menambah tekanan negara di Asia, yang mengandalkan AS sebagai negara tujuan ekspor.
India misalnya telah berunding dengan AS untuk membeli lebih banyak LNG dari AS. Sementara Thailand mengaku akan lebih banyak membeli produk AS, seperti etana dan produk pertanian.
Tarif akan naik
Menurut ekonom Bloomberg Maeva Cousin dan ekonom Deutsche Bank George Saravelos, India bisa jadi incaran AS karena tarif rata-rata yang India kenakan atas barang AS 10% lebih tinggi dari pungutan AS pada barang India.
"Jika istilah imbal balik diartikan lebih luas, mencakup surplus perdagangan atau pajak yang dikenakan negara atas perusahaan AS, maka dampaknya bisa jauh lebih besar bagi negara terkait," ujar Saravelos.
Baca Juga: Kekayaan Elon Musk Anjlok di Bawah US$400 Miliar untuk Pertama Kalinya pada 2025
Hitungan Analis Morgan Stanley Chetan Ahya, India dan Thailand menjadi negara yang berpotensi menghadapi kenaikan tarif 4%-6%, dengan asumsi AS mengenakan bea masuk untuk mengurangi perbedaan. Namun cara India meningkatkan pembeliannya atas peralatan pertahanan, energi dan pesawat AS bisa menjadi alat negosiasi.
"Kebijakan tarif Trump kali ini efeknya lebih agresif ketimbang perang dagang pertama pada tahun 2018-2019. Ketegangan perdagangan bisa makin meluas," jelas Ahya. Hanya saja, rincian kebijakan masih bergantung keputusan Trump selanjutnya.