Reporter: SS. Kurniawan | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Secara keseluruhan, hulu ledak nuklir di dunia menurun pada 2019 lalu, tetapi upaya modernisasi meluas oleh negara-negara nuklir terbesar bersamaan dengan degradasi perjanjian kontrol senjata di seluruh dunia.
Itu berarti, menurut laporan tahunan dari Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockhol (SIPRI), bisa menjadi kombinasi yang berbahaya untuk masa depan dunia.
Mengutip Defence News, SIPRI memperkirakan, pada akhir 2019, sembilan negara memiliki total 13.400 hulu ledak nuklir, turun dari 14.465 di tahun sebelumnya.
Pengurangan hulu ledak nuklir itu terutama karena jumlah yang turun di bawah perjanjian nuklir New START antara Rusia dan Amerika Serikat (AS), yang sebagian besar ahli harapkan tidak diperpanjang pada awal tahun nanti.
Baca Juga: Uji coba sukses, kapal selam Prancis siap tembak rudal nuklir sejauh 6.000 km
Rusia adalah pemilik hulu ledak nuklir terbesar, menurut angka SIPRI, dengan total 6.735 dan 1.570 dalam posisi siaga tempur. AS mengikuti dengan sekitar 5.800 hulu ledak nuklir dan 1.750 dalam posisi siaga tempur.
Kemudian di tempat ketiga adalah Inggris yang memiliki 250 hulu ledak nuklir, dengan 120 dalam posisi siaga tempur. Di posisi keempat ada Prancis yang punya 290 hulu ledak nuklir dan 280 dalam posisi siaga tempur.
Sementara China mempunyai 320 hulu ledak nuklir, Pakistan (160), India (150), Israel (90), dan Korea Utara (30-40).
Baik AS dan Rusia terlibat dalam upaya modernisasi senjata nuklirnya yang mahal dan meluas. AS sedang meningkatkan hulu ledak nuklir warisannya dengan desain baru, serta memperbarui armada pembom, kapal selam, dan rudal balistik antarbenua yang memiliki kemampuan nuklir.
Baca Juga: Balas serangan, Putin izinkan militer Rusia langsung gunakan nuklir
Awal tahun ini, Pentagon mengerahkan untuk pertama kalinya W76-2, varian rendah dari hulu ledak nuklir yang ada di kapal selam Trident. Dan, pekerjaan awal sedang AS lakukan pada desain hulu ledak kapal selam baru dengan nama W93.
Sementara Rusia secara terbuka mengungkapkan pengembangan senjata hipersonik yang bisa membawa hulu ledak nuklir dan telah berinvestasi dalam senjata baru seperti Status-6, sebuah drone bawah air yang bisa membawa hulu ledak nuklir.
Moskow juga telah menyuarakan rencana penempatan senjata baru, dan pada 2 Juni membuat kebijakan resmi yang memungkinkan Rusia menggunakan senjata nuklir sebagai tanggapan terhadap serangan konvensional.
Investasi oleh dua negara adikuasa nuklir dunia itu dilatarbelakangi oleh runtuhnya banyak perjanjian pengendalian senjata. Pada 2019, perjanjian Jangka Menengah dan Rudal Jarak Pendek (INF) berakhir.
Baca Juga: Mengenal Poseidon, senjata nuklir hari kiamat milik Rusia
Perjanjian kontrol senjata besar terakhir antara Rusia dan AS adalah New START, yang akan berakhir pada Februari 2021. Dalam beberapa minggu terakhir, AS telah mengumumkan niatnya untuk memulai negosiasi perjanjian kontrol senjata baru yang akan mencakup China.
"Kebuntuan atas New START dan runtuhnya Perjanjian Soviet-AS 1987 tentang INF pada 2019 menunjukkan, era perjanjian kontrol senjata nuklir bilateral antara Rusia dan AS berakhir mungkin akan datang,” kata Shannon Kile, Direktur Pelucutan Senjata Nuklir SIPRI, seperti dikutip Defence News.
"Hilangnya saluran komunikasi utama antara Rusia dan AS yang dimaksudkan untuk mempromosikan transparansi dan mencegah kesalahan persepsi tentang masing-masing posisi dan kemampuan angkatan nuklir masing-masing berpotensi mengarah pada perlombaan senjata nuklir baru," ujar Kile.