Sumber: Channel News Asia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - TEHERAN. Pemerintah Iran menyatakan keraguan serius terhadap komitmen Israel dalam mematuhi gencatan senjata yang mengakhiri konflik paling intens antara kedua negara yang berlangsung selama 12 hari sejak 13 Juni lalu.
Konflik tersebut meletus saat Israel melancarkan serangan udara terhadap sejumlah fasilitas nuklir Iran yang menewaskan para komandan militer dan ilmuwan top yang terkait dengan program nuklir Teheran.
Iran membalas dengan serangan rudal balistik ke sejumlah kota di Israel.
Baca Juga: Netanyahu Klaim Kemenangan Atas Iran, Tetapi Warga Israel Tak Percaya
Israel menyatakan serangan tersebut bertujuan mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir, tuduhan yang dibantah Teheran selama ini.
Konflik ini turut menggagalkan pembicaraan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat (AS).
AS sendiri kemudian ikut melancarkan serangan ke fasilitas nuklir Iran sebagai bagian dari dukungannya terhadap sekutu utamanya, Israel.
Kesiapan Iran untuk Membalas
“Kami bukan pihak yang memulai perang, tetapi kami merespons agresi dengan seluruh kekuatan kami,” ujar Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Jenderal Abdolrahim Mousavi, seperti dikutip televisi nasional dilansir dari laman Channelnewsasia, Senin (30/6).
Baca Juga: Ini Ancaman Terbaru Iran kepada Donald Trump
Ia menegaskan bahwa Iran meragukan kesediaan Israel untuk mematuhi gencatan senjata dan siap memberikan respons militer apabila terjadi pelanggaran. Gencatan senjata ini telah memasuki hari keenam sejak disepakati.
Ketegangan dengan IAEA
Di sisi lain, hubungan antara Iran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memburuk. Iran menolak permintaan IAEA untuk menginspeksi situs nuklir yang dibom, dan mengecam Direktur Jenderal Rafael Grossi karena dinilai gagal mengecam serangan yang dilakukan Israel dan AS.
Parlemen Iran pekan ini memutuskan untuk menghentikan kerja sama dengan IAEA. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyebut permintaan Grossi untuk mengunjungi fasilitas yang terkena serangan sebagai “tidak berarti dan mungkin berniat buruk.”
Iran juga menyebut resolusi IAEA yang dirilis pada 12 Juni yang mengkritik kurangnya transparansi Iran telah digunakan Israel sebagai dalih untuk memulai serangan sehari setelahnya.
Baca Juga: Kadin: Konflik Israel-Iran Berpotensi Ganggu Industri Padat Karya RI
Reaksi Internasional
Pernyataan dan sikap Iran terhadap IAEA memicu kritik dari sejumlah negara, termasuk Jerman dan Argentina, negara asal Grossi.
Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul menulis di platform X, “Saya mengapresiasi profesionalisme Direktur Jenderal Rafael Grossi dan timnya. Ancaman terhadap mereka sangat mengkhawatirkan dan harus dihentikan.”
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Argentina juga mengeluarkan pernyataan resmi yang “secara tegas mengecam ancaman terhadap Grossi yang berasal dari Iran.”
Meskipun tidak merinci ancaman apa yang dimaksud, media konservatif Iran, Kayhan, baru-baru ini mengklaim memiliki dokumen yang menyebut Grossi sebagai mata-mata Israel dan menyerukan agar ia dihukum mati.
Baca Juga: Tak Ada Nama Iran, Ini Daftar 9 Negara Pemilik Senjata Nuklir Tahun 2025
Dampak Serangan dan Respons AS
Amerika Serikat mengklaim telah melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas utama program nuklir Iran. Presiden Trump mengatakan akan “tanpa ragu” menyerang lagi apabila ada indikasi Iran memperkaya uranium hingga tingkat militer.
Namun laporan Washington Post mengungkapkan, intelijen AS berhasil mencegat percakapan pejabat Iran yang menyebut kerusakan akibat serangan tersebut “lebih kecil dari yang diperkirakan.”
Laporan awal militer AS menyebut program nuklir Iran mungkin mundur beberapa bulan, bukan tahun seperti klaim Israel.
IAEA menyatakan Iran telah memperkaya uranium hingga 60% jauh di atas kebutuhan untuk pembangkit Listrik, namun belum ada bukti bahwa Iran secara aktif mengembangkan senjata nuklir sebelum serangan terjadi.
Baca Juga: Ancaman Terbaru Iran ke Amerika: Bakal Serang Pangkalan Militer AS Lainnya
Kondisi Sipil dan Situasi Domestik Iran
Kementerian Kesehatan Iran melaporkan setidaknya 627 warga sipil tewas dan 4.900 lainnya terluka dalam perang. Sementara itu, serangan balasan Iran ke Israel menewaskan 28 orang menurut otoritas setempat.
Selama konflik, Iran juga menangkap puluhan orang yang dituduh sebagai mata-mata Israel. Parlemen Iran bahkan meloloskan aturan yang melarang penggunaan perangkat komunikasi tanpa izin, termasuk layanan internet satelit Starlink milik Elon Musk.
Peluang Perdamaian?
Meski ketegangan masih tinggi, Duta Besar AS untuk Turki, Tom Barrack yang juga utusan khusus AS untuk Suriah mengatakan bahwa konflik ini bisa menjadi momentum baru di Timur Tengah.
“Apa yang baru saja terjadi antara Israel dan Iran bisa menjadi kesempatan bagi kita semua untuk berkata: ‘Waktunya berhenti sejenak. Mari ciptakan jalan baru,’” ujar Barrack kepada kantor berita Anadolu.
“Timur Tengah siap untuk dialog baru. Masyarakat sudah lelah dengan narasi lama.”