Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Pemliu AS akan digelar pada bulan November 2024 mendatang. Donald Trump akan kembali jadi andalan Partai Republik untuk bersaing memperebutkan kursi presiden.
Pengusaha berusia 77 tahun ini akan kembali berhadapan dengan Presiden AS saat ini, Joe Biden, Trump dan Biden juga saling berhadapan dalam pemilu AS tahun 2020.
Trump memenangkan pemilu tahun 2016 dan menjadi presiden pertama dalam sejarah AS yang tidak memiliki jabatan publik atau latar belakang militer sebelumnya.
Minimnya pengalaman politik itu membuat Trump selalu diragukan. Hasilnya, sejumlah kebijakan kontroversial pun dilahirkan, terutama dalam urusan luar negeri.
Baca Juga: Sudah Dinyatakan Bersalah, Dapatkah Donald Trump Mencalonkan Diri sebagai Presiden?
Kebijakan Luar Negeri Donald Trump
Selama menjabat pada periode 2017-2021, Trump tak henti melahirkan kebijakan luar negeri yang kontroversial.
Langkah Trump kerap membuat stabilitas politik internasional goyah, dampaknya bahkan masih terasa hingga saat ini.
Jelang pemilu AS tahun ini, rekam jejak Trump kembali jadi sorotan. Berikut adalah sejumlah kebijakan luar negeri kontroversial Trump selama menjadi Presiden AS:
Keluar dari TPP
Salah satu langkah awal Trump adalah menarik AS keluar dari Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP) pada tahun 2017.
Perjanjian perdagangan berisi 12 negara itu berfokus pada negara-negara Asia dan diperjuangkan eksistensinya oleh pendahulu Trump, Barack Obama.
Baca Juga: Joe Biden Berencana Lakukan Persiapan Debat Capres di Camp David
Travel Ban untuk Negara Mayoritas Muslim
Masih di tahun pertamanya, Trump menandatangani perintah eksekutif yang melarang warga negara dari sejumlah negara mayoritas Muslim melakukan perjalanan ke AS selama sembilan puluh hari.
Kebijakan yang kerap disebut sebagai "Muslim Ban" ini berlaku untuk negara seperti Iran, Irak, Libya, Sudan, Suriah, Yaman, dan masih banyak lagi.
Menyerang Suriah
Pada April 2017, Trump mengizinkan serangan rudal jelajah terbatas terhadap Pangkalan Udara Shayrat yang dikuasai rezim.
Alasannya, AS hendak melakukan pembalasan atas penggunaan senjata kimia sarin oleh Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam serangan terhadap warga sipil.
Baca Juga: Jadwal Debat Capres AS 2024, Ada di Bulan Juni dan September
Keluar dari Paris Agreement
Keraguan Trump pada perubahan iklim dan pemanasan global membuatnya menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris Agreement yang lahir tahun 2015.
Menurut Trump, aturan pembatasan emisi karbon yang ada dalam perjanjian tersebut bisa merugikan AS secara ekonomi.
Mengakui Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel
Trump melanggar kebijakan AS selama puluhan tahun mengenai konflik Israel-Palestina dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Keputusan ini memicu banyak kemarahan, terutama dari negara-negara mayoritas Muslim.
Perang Dagang dengan China
Pada November 2018, AS mengenakan tarif terhadap barang-barang dari China senilai US$250 miliar, sementara China mengenakan tarif terhadap produk-produk AS senilai US$110 miliar.
Pada KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata.
Sayangnya, perang dagang ini kembali memanas pada tahun 2019.
Baca Juga: Kebijakan Biden Berhasil, Jumlah Imigran Ilegal dari Meksiko Mulai Turun
Keluar dari Kesepakatan Nuklir Iran
Trump mengumumkan AS keluar dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), perjanjian tahun 2015 mengenai program nuklir Iran.
Trump mengumumkan bahwa AS akan menerapkan kembali dua sanksi terhadap Iran yang telah dihapuskan seiring implementasi perjanjian tersebut.
Ketegangan antara AS dan Iran akibat kebijakan Trump tersebut masih terasa hingga sekarang.
Keluar dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB
AS keluar dari dewan ini dengan alasan adanya "bias kronis terhadap Israel” dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh berbagai anggota, termasuk China dan Venezuela.
Mendamaikan Israel dan Negara Arab
Trump jadi penengah dari upaya normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab.
Trump menyebut peristiwa tersebut sebagai “fajar Timur Tengah yang baru.” Para ahli mengatakan kesepakatan itu semakin mempersatukan Israel dan negara-negara Teluk Arab melawan Iran.