Sumber: Channel News Asia | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON DC. Negosiator dari AS dan China dijadwalkan akan bertemu pada hari Sabtu (15/8) untuk mendiskusikan kesepakatan perdagangan Fase Satu yang sudah ditandatangani pada awal tahun ini.
Kesepakatan perdagangan Fase Satu disahkan pada bulan Januari lalu sebelum wabah Covid-19 melanda dunia dan menghantam perekonomian kedua negara. Saat itu hubungan AS-China juga cenderung ada di fase yang cukup damai.
Pada bulan Januari lalu disepakati bahwa kedua negara mengadakan gencatan senjata parsial dalam perang dagang yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. China diwajibkan mengimpor produk AS senilai US$ 200 miliar selama dua tahun.
Sayangnya, belakangan ini hasil kesepakatan terasa tidak berarti lagi sejak Presiden Donald Trump mulai menelurkan serangkaian kebijakan yang menyudutkan China. Menciptakan keretakan hubungan antara dua negara.
Perilaku pemerintahan Trump ini dinilai sebagai upaya untuk mendulang suara menjelang pemilu presiden yang akan berlangsung bulan November mendatang. Sayangnya beberapa kesalahan justru membuat pendukungnya pergi.
Baca Juga: Hari ini dalam sejarah: China menyatakan perang terhadap Jerman
Hubungan AS-China yang makin buruk ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana nasib kesepakatan gencatan sejata yang telah terjadi sejak Januari lalu.
Para analis perekonomian masih berharap pertemuan hari Sabtu nanti akan menghasilkan sesuatu yang positif bagi kedua belah pihak. Apalagi melihat keadaan ekonomi masing-masing yang mulai memburuk.
"Hingga saat ini China relatif pasif dan AS relatif proaktif. Dalam pandangan saya, seharusnya tidak banyak perubahan yang datang dari China dalam hal perdagangan, kerja sama, atau pembukaan pasar, kuncinya ada di pihak AS," papar Raymond Yeung, kepala ekonom untuk Greater China di bank ANZ, seperti dikutip dari Channel News Asia.
Itikad baik kedua negara pada bulan Januari lalu sekarang mulai diragukan.Beberapa masalah terus muncul sehingga menyebabkan dua negara kembali bersinggungan.
Baca Juga: Kebencian memuncak, bisnis AS di China terkena imbasnya
Beberapa bulan terakhir kedua negara juga sibuk berdebat tentang siapa yang harus disalahkan atas virus corona, China sebagai tempat kemunculan pertama, atau AS yang saat ini menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak.
Hubungan juga makin memburuk akibat sikap keras China terhadap Hong Kong melalui disahkannya Undang-Undang Keamanan Nasional.
Kebijakan ini direspons AS dengan menjatuhkan sanksi, termasuk dilarangnya aplikasi China seperti TikTok dan WeChat untuk beroperasi di AS.
Terkait dengan dinamika hubungan ini, Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer, pada bulan Juni mengatakan bahwa China tetap akan melanjutkan komitmennya sesuai dengan kesepakatan yang sudah tercapai.
Baca Juga: China: AS menginginkan Perang Dingin tapi kami tidak tertarik
Namun tidak lama setelah itu, Dewan Negara China justru mengeluarkan pernyataan bahwa pandemi Covid-19 telah memberi dampak pada kesepakatan dan hubungan baik antara negara-negara.
Walaupun tidak secara jelas menyebutkan AS, tetapi pernyataan tersebut dinilai sebagai sebuah kode bahwa hubungan kedua negara sedang tidak baik-baik saja.
Hal ini didukung oleh data dari Peterson Institute for International Economics, yang menyatakan bahwa pembelian sektor pertanian China dari AS pada bulan Juni masih jauh dari kesepakatan awal.
China hanya mencatat 39% dari target tengah tahun mereka. Di sisi lain, China mengklaim sudah memenuhi 48% target.
Kelanjutan dari kesepakatan gencatan senjata pada perang dagang kedua negara akan bisa kita ketahui setelah pertemuan hari Sabtu berlangsung.
Baca Juga: Perusahaan AS khawatir instruksi Trump atas WeChat berefek buruk bagi bisnis