Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Pejabat dan pakar kesehatan global di luar China dengan cemas menyaksikan lonjakan COVID-19 di negara tersebut. Mereka khawatir, negara berpenduduk 1,4 miliar orang tidak divaksinasi secara memadai dan mungkin tidak memiliki alat perawatan kesehatan untuk mengobati gelombang penyakit yang diperkirakan akan terjadi. Diprediksi, gelombang COVID kali ini akan menewaskan lebih dari satu juta orang penduduk China hingga tahun 2023.
Melansir Reuters, beberapa pejabat AS dan Eropa berjuang untuk mencari tahu bagaimana mereka dapat membantu mengurangi krisis yang mereka khawatirkan akan merugikan ekonomi global. Kondisi pandemi buruk di China sudah pasti akan semakin membatasi rantai pasokan perusahaan. Belum lagi, hal tersebut juga akan menelurkan varian baru virus corona yang menjadi perhatian.
"Kami telah menyatakan bahwa kami siap untuk membantu dengan cara apa pun yang dianggap dapat diterima," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby.
Menurut pakar kesehatan dari negara-negara di luar China yang berjuang melalui gelombang COVID mereka sendiri, persiapan awal sistem perawatan kesehatan, pengumpulan data yang akurat dan transparan, serta komunikasi terbuka, semuanya sangat penting untuk memerangi infeksi massal virus corona. Namun, menurut mereka, banyak dari elemen tersebut tampaknya kurang di China.
Baca Juga: Giliran Xiaomi PHK Massal, Dampak Kebijakan Zero Covid di China plus Permintaan Susut
Presiden Xi Jinping telah lama menegaskan bahwa sistem satu partai di negara itu paling cocok untuk menangani penyakit ini. Xi juga bilang bahwa vaksin China lebih unggul daripada vaksin barat, meskipun ada bukti yang bertentangan.
Pemerintahan di luar China menemukan diri mereka dalam posisi yang sulit secara diplomatis. Di satu sisi, mereka ingin membantu membendung krisis kesehatan global dan domestik yang berkembang serta implikasi ekonomi dengan cara yang mungkin bersedia diterima oleh pemerintah China.
“Nasionalisme vaksin China sangat terkait dengan kebanggaan Xi, dan menerima bantuan Barat tidak hanya akan mempermalukan Xi, tetapi juga akan mematahkan narasinya yang sering dipropagandakan bahwa model pemerintahan China lebih unggul,” kata Craig Singleton, wakil direktur program China di Yayasan Pembela Demokrasi.
Pejabat Eropa dan AS melakukan pembicaraan di belakang layar dengan hati-hati dengan rekan-rekan China, sambil mengeluarkan pernyataan publik dengan kata-kata yang sengaja dimaksudkan untuk memperjelas bahwa bola ada di tangan Beijing.
Baca Juga: Perkiraan Bank Dunia: Ekonomi China Tahun Ini Tumbuh 2,7%, Tahun Depan 4,3%
Menurut penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan pekan lalu, pejabat Washington dan Beijing membahas cara menangani COVID pada awal bulan ini dalam pembicaraan di China untuk mempersiapkan kunjungan Menteri Luar Negeri Antony Blinken awal tahun depan. Sayang, dia menolak memberikan perincian lebih rinci, dengan alasan "saluran diplomatik yang sensitif."
Salah satu bidang bantuan Barat yang potensial diberikan adalah apakah China akan menerima vaksin mRNA terbaru buatan BioNTech yang dirancang untuk menargetkan varian virus terkait Omicron yang saat ini beredar. Para ahli meyakini vaksin ini lebih efektif daripada suntikan China.
Kanselir Jerman Olaf Scholz membahas masalah ini dalam kunjungan ke Beijing bulan lalu bersama dengan Kepala Eksekutif BioNTech Ugur Sahin.
Namun, menurut koordinator tanggap virus corona Gedung Putih Dr. Ashish Jha kepada wartawan, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya tidak secara terbuka mendorong China untuk menerima vaksin mRNA buatan Barat.
"Kami siap membantu negara mana pun di dunia dengan vaksin, perawatan, apa pun yang dapat kami bantu," katanya.
Beijing mengatakan "keuntungan institusional" akan membantunya melewati epidemi tanpa bantuan asing, dan perkiraan jumlah kematian akibat COVID di China masih lebih rendah dari 1,1 juta kematian di AS dan 2,1 juta di Eropa.
Di sisi lain, produsen obat AS Pfizer pekan lalu mencapai kesepakatan untuk mengekspor pengobatan antivirus COVID Paxlovid ke China melalui perusahaan lokal, dengan mengatakan mereka sedang bekerja dengan semua pemangku kepentingan untuk mengamankan pasokan yang memadai.
"Apakah China bertanya atau tidak, sebagai warga Beijing, saya menyambut baik sikap pemerintah AS," jelas Hu Xijin, mantan editor tabloid partai Global Times, mengatakan di Twitter.
Xijin menambahkan bahwa dia berharap pemerintah AS akan mendorong Pfizer untuk menurunkan harga Paxlovid.
Baca Juga: China Bakal Mengalami Tiga Gelombang Infeksi Covid-19!
Situasi berisiko
Persaingan antara Amerika Serikat dan China, dua ekonomi terbesar dunia, telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, di mana pemerintahan Biden mencoba untuk mengalahkan sektor semikonduktor China dan menyikut Beijing secara politik di Asia dan Afrika.
Presiden Joe Biden menggambarkan keadaan politik global sebagai titik belok antara demokrasi dan otokrasi.
Namun hubungan kedua negara tetap terjalin erat, dengan China masih menjadi mitra dagang terbesar AS dan pelanggan utama bagi banyak perusahaan Amerika.
"Kami ingin China mengatasi COVID dengan benar," kata Blinken awal bulan ini. “Ini adalah kepentingan pertama dan tidak hanya bagi rakyat China, tetapi juga untuk kepentingan orang-orang di seluruh dunia.”
Saham perusahaan barang mewah yang sangat berkaitan erat dengan China, seperti LVMH, telah diperdagangkan turun baru-baru ini karena kekhawatiran COVID.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengisyaratkan kekhawatirannya minggu lalu.
“China menghadapi sistem yang sangat menantang dalam pembukaan kembali,” kata Powell.
Powell menambahkan bahwa manufaktur, ekspor, dan rantai pasokannya tetap kritis.
"Ini situasi yang berisiko," imbuhnya.
Baca Juga: Gara-Gara Covid, Tingkat Kepercayaan Bisnis China Terjun ke Level Terendah
Pakar kesehatan di luar China pesimistis bahwa mungkin sudah terlambat untuk mencegah tragedi tersebut.
"Apa yang Anda lakukan untuk badai Kategori 5 saat satu setengah jam lepas pantai? Jika Anda belum melakukannya sekarang, sudah terlambat," kata Michael Osterholm, direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular di Universitas Minnesota.
"Pandemi ini baru akan melanda (China) dalam beberapa minggu ke depan," katanya. “Sangat disayangkan mereka tidak memikirkan hal ini enam atau 10 bulan lalu. Mereka bisa mengulur waktu untuk berada di posisi yang lebih baik.”
Lebih dari 160 juta orang di China diyakini menderita diabetes, dan ada delapan juta orang China yang tidak divaksinasi di atas usia 80 tahun, kata Yanzhong Huang, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri. Itu adalah faktor risiko COVID parah.